DIVA VIONA LEONITA
21215992
SEJARAH PRAKOLONIALISME
Periode
Prakolonialisme adalah masa-masa berdirinya kerajaan-kerajaan di wilayah
Nusantara (sekitar abad ke-5) sampai sebelum masa masuknya penjajah yang secara
sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politik di wilayah Nusantara (sekitar
abad ke-15 sampai 17). Pada masa itu, RI belum berdiri. Daerah-daerah umumnya
dipimpin oleh kerajaan-kerajaan.
Indonesia
terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa, serta Samudra Pasifik
dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar
benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Suriah Tiongkok
dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk
Persia, melalui ke Laut Tengah, ada yang ke Laut Merah melalui Mesir, dan
sampai juga ke Laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok,
dan Indonesia dimulai pada abad pertama sebuah masehi, demikian juga hubungan
Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Perdagangan
di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat
kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat
besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia
Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para
bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada
proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh
banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan
uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun
pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya
picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas,
karena perdagangan barter banya berlangsung dalam sistem perdagangan
internasional. Karenanya. Tidak terjadi surplus atau defisit yang harus
diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan
suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya
pelabuhan. Hal itu disebabkan kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di
Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber
dari pertanian dan perniagaan. Di masa prakolonial, pelayaran niaga lah yang
cenderung lebih dominan. Namun, dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara
keseluruhan, pertanian dan perdagangan sangat berpengaruh dalam perkembangan
perekonomian Indonesia.
Dengan kata lain, sistem
pemerintahan masih berbentuk feudal. Kegiatan utama perekonomian adalah:
·
Pertanian, umumnya monokultura, misalnya padi di Jawa
dan rempah-rempah di Maluku.
·
Eksplorasi hasil alam, misalnya hasil laut, hasil
tambang, dan lain-lain.
·
Perdagangan besar antarpulau dan antarbangsa yang
sangat mengandalkan jalur laut.
Kerajaan-kerajaan besar yang pernah
muncul dalam sejarah Indonesia di antaranya seperti Sriwijaya (abad ke-8),
Majapahit (abad ke-13 sampai 15), maupun Banten (abad ke-17 sampai 18)
merupakan kerajaan-kerajaan yang sangat menguasai tiga kegiatan ekonomi di
atas.
Sumber:
SISTEM MONOPOLI VOC
A. Latar Belakang terjadinya Pergantian Kekuasaan
Bangsa Belanda datang ke Indonesia
untuk berniaga. Mula-mula terdapat beberapa kongsi dagang yang menyediakan
kapal-kapal, akan tetapi dalam tahun 1602 telah didirikan suatu Verenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC), yaitu gabungan kongsi-kongsi dagang yang berlayar ke Indonesia
atau Kongsi Dagang India Timur. Tujuan pokoknya adalah mencari untung yang
sebesar-besarnya.
Setelah berjalan lebih dari satu
setengah abad, ternyata keuntungan yang diperoleh semakin kecil, kasnya semakin
menipis, sedangkan anggaran belanja VOC semakin besar. Keadaan tersebut tidak
semakin bertambah baik, tetapi justru semakin merosot. Itulah sebabnya VOC
akhirnya membubarkan diri pada tanggal 31 Desember 1799. Adapun sebab-sebab
jatuhnya VOC yaitu:
1. Sistem
monopoli VOC dengan akibat-akibat yang merugikan
Tujuan monopoli dagang ini adalah
untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari perdagangan. Karena VOC
merupakan sebuah persekutuan dagang yang terdiri dari para pedagang dan
pemegang saham, maka mereka sama sekali tidak memperhatikan kehidupan atau
membuat kebaikan terhadap orang-orang pribumi. Sistem perdagangan seperti itu
melemahkan perdagangan dan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Akibat pemerintah Belanda tidak
memperhatikan nasib rakyat jajahan, maka penduduk pribumi menjadi sangat miskin
dan bodoh. Mereka tidak mampu membeli barang-barang produksi yang dijual oleh
Belanda. Bahkan tidak jarang penduduk pribumi tidak mampu membeli beras dan
bahan-bahan makanan lainnya yang akan dijual oleh Belanda.
Beberapa kebijaksanaan Belanda yang menyebabkan orang-orang
Indonesia terus miskin:
·
Membeli murah, menjual mahal
Belanda selalu membeli hasil bumi
orang-orang Indonesia dengan harga murah, sedangkan bahan-bahan makanan, kain,
dan barang-barang lain dijual mahal kepada penduduk. Hal ini menyebabkan
penduduk tanah jajahan terlalu miskin untuk membeli barang-barang kebutuhan
pokok itu. belanda menjalankan sistem pembelian dan penjualan ini dengan tujuan
untuk memperoleh barang-barang yang lebih banyak dibanding barang-barang yang
dijualanya.
·
Menjaga jumlah barang yang dimonopoli
Belanda terus berusaha menjaga
barang-barang yang dimonopoli supaya harganya tidak merosot. Peraturan itu
mereka jalankan agar permintaan pasar dan harga tetap seimbang. Jika permintaan
tinggi, maka pengeluaran dilebihkan dengan syarat harganya tidak jatuh.
Biasanya hasil yang berlebihan dikurangi dengan menebang dan memusnahkan
pohon-pohon, membakar atau mengubur hasil-hasil yang berlebihan itu supaya
harganya tetap tinggi. Misalnya, jika kopi atau lada sangat dibutuhkan di
Eropa, maka orang-orang Indonesia dipaksa menanam lebih banyak pohon-pohon kopi
dan lada. Tanaman-tanaman ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berbuah. Tetapi
apabila sampai waktu bagi tanaman-tanaman ini berbuah, permintaan terhadapnya
mungkin sudah jatuh. Jika hal itu terjadi dan gudang-gudangnya masih penuh, maka
kopi dan lada yang berlebihan itu akan dimusnahkan untuk mempertahankan
harganya di Eropa. Sementara itu harga yang dibayar kepada penanam-penanam di
Indonesia dikurangkan pula. Orang-orang Belanda itu sendiri pun tidak banyak
mendapat faedah dari kebijaksanaan monopolinya sebab mereka tidak dapat
melakukan monopoli secara optimal. Pedagang-pedagang Arab dan Inggris
membanjiri pasar-pasar di Indonesia dengan kain-kain yang jauh lebih murah
daripada kain-kain Belanda. Hal ini menyebabkan harga barang-barang yang dijual
Belanda menjadi sangat murah.
·
Kerja paksa, penyelundupan dan perompakan di laut
Monopoli Belanda juga menyebabkan
terjadinya penyelundupan dan perompakan di laut. Kedua peristiwa itu sangat
merugikan perdagangan Belanda. Keuntungan yang diperoleh dari penyelundupan itu
sangat besar dibanding dengan bahaya yang dihadapi. Di sisi lain, angkatan laut
Belanda tidak mungkin mengawasi seluruh perbatasan laut dalam waktu yang sama.
Ini berarti bahwa angkatan laut Belanda tidak cukup untuk mengawal monopoli
Belanda. Biasanya para penyelundup itu juga bertindak seperti bajak laut yang
merompak kapal-kapal Belanda dan merampok kapal-kapal dagang Indonesia. Belanda
kewalahan menghadapi masalah ini karena angkatan laut Belanda sangat terbatas.
·
Menjaga monopoli terhadap tanaman-tanaman
Belanda menjaga tanaman-tanaman
agar hasilnya tidak melebihi permintaan pasar, terutama tanaman rempah-rempah
di Maluku, gula dari Jawa, dan lada dari Aceh. Untuk menjaga tanaman
rempah-rempah di Maluku, Belanda melakukan pelayaran Hongi, yaitu pelayaran
bersenjata untuk memusnahkan tanaman rempah-rempah yang dianggap melanggar
aturan.
Di samping biaya pengawasan yang
mahal dan menimbulkan dendam dari penduduk yang dirusak tanamannya, Perancis
dan Inggris menggalakkan penanaman pohon-pohon tersebut di tanah jajahan
mereka. Kemudian Sri Lanka dan India sudah menghasilkan kayu manis dan bunga
cengkih untuk orang-orang Inggris. Sedangkan tempat pengumpulan rempah-rempah
Inggris di Bangkahulu dapat memperoleh rempah-rempah dari pedagang setempat.
Dengan demikian VOC mengalami kerugian.
2. Cara kerja
yang tidak efektif dan efisien
Pada mulanya VOC itu dimaksudkan
sebagai badan perdagangan. Ada bukti yang menunjukkan bahwa ketika VOC
betul-betul menjalankan usaha perdagangan, VOC mendapat keuntungan yang
secukupnya. Tetapi setelah VOC itu berubah menjadi badan pemerintah, maka
anggaran pemerintahan atas seluruh wilayah kekuasaannya melebihi keuntungan
yang diperoleh. Karena susunannya tidak
baik, maka timbullah keburukan yang
menyebabkan kerugian besar. Pegawai-pegawainya diangkat berdasarkan keinginan
para pejabat VOC sehingga tidak berdasarkan profesinya. Pegawai-pegawai tersebut hanya diberi gaji
kecil dan diberi kesempatan untuk memperoleh tambahan gaji secara tidak resmi.
Akibatnya, terjadilah perdagangan pribadi dari pegawai yang paling rendah
sampai Gubernur Jenderal. Sementara
pegawai-pegawai dan pejabat-pejabat VOC memperoleh banyak penghasilan, namun
tidak seperti rakyat jajahan. Bagi pejabat VOC, yang penting adalah bisa
bersahabat dengan raja-raja setempat agar memperoleh monopoli perdagangan.
Dengan adanya perlawanan dan
penaklukan daerah-daerah baru menyebabkan kas VOC semakin berkurang. Namun gaji
yang rendah juga mendorong terjadinya korupsi besar-besaran sehingga keuntungan
VOC semakin habis. Jadi, para pegawai VOC semakin memperkaya diri sementara
keuntungan VOC hanya cukup untuk mempertahankan kongsi dagang tersebut.
Ada beberapa cara bagi para pegawai VOC untuk memperkaya
diri, yaitu:
a. Karena
jabatan-jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi dapat dibeli, maka
pegawai-pegawai VOC itu dapat memegang dua jabatan atau lebih supaya gajinya
lebih besar.
b. Pegawai-pegawai
VOC menjual barang-barang kepada VOC dengan harga yang lebih tinggi daripada
harga yang dibayar kepada orang Indonesia.
c. Mereka
mencuri barang-barang dari gudang-gudang VOC dan membagi-bagikan barang-barang
yang akan dikirim itu kepada sesama pegawai VOC.
d. Sewaktu
akan mengirim barang, timbangan-timbangan dilakukan secara tidak betul sehingga
terjadi sisa barang yang kemudian dijadikan milik pribadi.
e. Para
pegawai itu berdagang barang-barang seperti beras dan candu yang telah
ditetapkan oleh VOC sebagai barang-barang dagangan monopoli VOC.
f. Mereka
memungut sumbangan dari orang-orang Indonesia.
g. Mereka
menerima tips untuk pertolongan yang mereka berikan, walaupun sebenarnya itu tugas
mereka.
h. Mereka
mempergunakan kemudahan-kemudahan VOC untuk menjalankan perdagangan pribadi.
i. VOC
mendapat bagian dari sisa-sisa yang telah dikorupsi oleh para pegawai.
Pegawai-pegawai itu bersekongkol dengan orangorang Indonesia untuk mengelabui
VOC.
3. Saingan
Perdagangan
Mula-mula Belanda menghadapi
persaingan Portugis dan Inggris. Perdagangan Portugis akhirnya dapat
dilumpuhkan, sehingga tinggal berbentuk perdagangan perorangan dan tidak
membahayakan lagi. Sedangkan Inggris yang pada awalnya dapat didesak, namun
karena menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, maka akhirnya justru menjadi
pesaing Belanda yang utama dari Eropa. Pedagang-pedagang Inggris dan
pedagang-pedagang Asia dapat masuk ke kawasan-kawasan perdagangan VOC. Mereka
menawarkan harga-harga barang yang lebih murah, sehingga membahayakan
perdagangan Belanda. Karena itu Belanda berusaha keras agar Inggris tidak
memiliki wilayah perdagangan di Indonesia, akibatnya baru tahun 1795 Inggris
memperoleh kedudukan di pulau Penang. Di
samping Inggris, orang-orang Bugis dengan pusat perdagangannya di Riau juga
menjadi saingan yang hebat terhadap perdagangan Belanda.
Perselisihan-perselisihan politik yang disebabkan oleh keikutsertaaan Belanda
di pihak Perancis dalam Perang
Kemerdekaan Amerika (1774-1783), mengakibatkan semakin terancamannya
kedudukan Belanda di Indonesia oleh Inggris. Pertempuran-pertempuran laut
antara gabungan Inggris-Belanda melawan Perancis dalam tahun 1780-1784 semakin
memperberat beban keuangan yang ditanggung Belanda.
4. Kemerosotan
Perdagangan VOC
Kemerosotan ini tentu saja
disebabkan oleh persaingan dari pedagang-perdagang lain dan juga sebagai akibat
dari keburukan sistem monopoli VOC. Clive Day berpendapat bahwa saingan
perdagangan merupakan sebab utama kemerosotan perdagangan VOC dalam abad ke-18.
Adapun sebab lain yang menyebabkan kemerosotan perdagangan VOC itu adalah
sistem monopoli. Perdagangan VOC mulai merosot dengan hebatnya pada permulaan
abad ke-18, yaitu sewaktu Belanda memperoleh kekuasaan yang semakin luas di
Indonesia sehingga mengubah dirinya dari dagang ke politik. Apabila VOC tetap
pada tujuan aslinya yaitu dagang (membeli dan menjual di pasar-pasar terbuka),
maka uangnya tidak habis untuk membiayai pemerintahan dan peperangan. Pada pertengahan abad ke-18, Belanda di Jawa
hampir-hampir sudah gulung tikar, karena kehabisan kas. Untuk menghadapi bahaya
kebangkrutan itu, Belanda meningkatkan usaha pengangkutan dan menggalakkan
simpanan untuk meningkatkan modal agar mampu membiayai perdagangan
internasional. Dengan demikian, uang mulai terkumpul kembali.
Sistem pengangkutan dan simpanan
ini didasarkan pada kenyataan bahwa Belanda ialah tuan bagi orang-orang
Indonesia dan mereka memerlukan tanaman-tanaman tertentu untuk dijual di pasar-pasar
lain. Dengan demikian rakyat dipaksa menjual hasil yang tertentu tiap-tiap
tahun kepada Belanda. Hasil-hasil itu dibayar dengan harga yang rendah dan yang
ditentukan oleh VOC.
Rakyat Indonesia juga terpaksa
membiarkan sebagian dari tanaman mereka tiap tahun sebagai upeti. Penyerahan
paksa yang mereka namakan simpanan itu ditentukan besarnya. Sistem ini sangat
menguntungkan VOC, tetapi mengundang kebencian rakyat.
Sementara itu, barang-barang impor
yang dimasukkan Belanda ke Indonesia, seperti kain, yang diharapkan akan
terjual, ternyata rakyat tidak mampu membelinya lantaran daya beli yang sangat
lemah. Akibatnya, perdagangan Belanda semakin kecil sementara kekuasaan politik
mereka semakin bertambah besar.
5. Besarnya
biaya untuk menghadapi perlawanan-perlawanan rakyat
Pada waktu keuntungan semakin
berkurang dan biaya pemerintahan semakin bertambah, VOC harus menghadapi
perlawanan-perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia. Kondisi keuangan Belanda
yang paling rendah terjadi pada pertengahan abad ke-18. Oleh karena itu,
perlawanan Bugis di Riau tahun 1783-1784 hampir dapat mengusir Belanda dari
kota Malaka. Kota Malaka dapat diselamatkan oleh pasukan van Braam yang tiba
tepat pada waktunya. Peperangan dengan
Mataram, Banten, Makassar, bahkan juga campur tangan Belanda dalam perang
perebutan tahta di Mataram sampai tiga kali, terutama perang melawan Raden Mas
Said dan Pangeran Mangkubumi, menelan banyak biaya. Beban keuangan itu semakin
diperparah apabila perlawanan tersebut muncul bersamaan, seperti perang perebutan
tahta di Jawa dan di Banten.
6. Pembagian
keuntungan yang mengecewakan terhadap pemegang saham
Dalam membagikan keuntungan, kepada
para pemegang saham dalam kongsi dagang Belanda itu berlangsung secara tidak
transparan. Hal ini terpaksa dilakukan oleh VOC karena kongsi dagang itu
berusaha untuk menyehatkan kembali keuangannya sehingga dapat melepaskan diri
dari kebangkrutan. Dalam pembagian
keuntungan itu, kadang-kadang VOC memberikan keuntungan 50% dari modalnya pada
saat kongsi itu tidak mendapat untung. Kebijakan itu menyebabkan para pemegang
saham menyangka bahwa VOC adalah kongsi dagang yang menguntungkan bagi penanam
modal. Sewaktu perdagangan VOC mendapat
sedikit keuntungan, para pemegang saham itu justru tidak diberi apa-apa.
Akibatnya ketidaktransparanan itu mengundang penafsiran bahwa VOC menipu para
pemegang saham. Ternyata dengan memberikan keuntungan yang besar pada saat VOC
merugi dan akibatnya hutang VOC semakin besar.
7. Perang
Inggris-Belanda dan Perancis 1780-1784
Permusuhan Inggris-Belanda dan
Perancis dalam tahun 17801784 ternyata merupakan pukulan yang terakhir terhadap
keuangan VOC. Perdagangan Belanda terhenti di semua kawasan akibat pengepungan
Angkatan Laut Inggris yang sangat kuat, bahkan VOC terblokade. Sebagai akibat
pula, maka dana yang dikeluarkan untuk menghadapi Inggris itu terlampau besar
untuk ditanggung oleh kongsi dagang yang sedang pailit itu.
Menurut Harrison, VOC tidak pernah
pulih dari penderitaan perang tahun 1780-1784 itu. Dalam peperangan ini,
pengiriman barangbarang dengan kapal-kapal pedagang Belanda tidak dapat lagi
dilakukan karena hancurnya angkatan laut Belanda dalam pertempuran di Dogger
Bank pada tahun 1781.
Sebab-sebab merosotnya dan jatuhnya
VOC mengambil waktu yang lama. Benih kemerosotan itu mengambil waktu 100 tahun
untuk akhirnya meruntuhkan kekuasaan
imperium perdagangan Belanda. Kritikan-kritikan yang hebat terhadap pelaksanaan
monopoli itu baru mulai timbul dalam tahun 1774. Tetapi oleh karena tidak ada
jalan lain lagi untuk memperoleh penghasilan yang tetap, maka sistem monopoli
itu terus dilanjutkan.
Bertolak dari sistem yang
dijalankan itu, maka para pakar berpendapat bahwa Belanda dengan VOC-nya bukan
penjajah yang kejam tetapi loba dan tamak. Keruntuhan VOC terus berproses
akibat buruknya pemerintahan dan perdagangan VOC akibat saingan dari lawan-lawannya.
Namun menurut J.F. Cady, sebab utama keruntuhan VOC itu adalah
kemerosotan atau penurunan taraf kerja pegawaipegawainya.
Sementara itu pakar sejarah Asia
Tenggara yang lain banyak yang berpendapat bahwa sebab-sebab jatuhnya VOC yang
utama karena VOC gagal memperoleh keuntungan yang cukup untuk membiayai perluasan wilayah. Hal ini
bisa kita runut dari pendapat Harrison yang menyatakan bahwa keuntungan yang
diperoleh tidak pernah melebihi biaya yang dikeluarkan. Beberapa sebab yang
menyebabkan kongsi dagang Belanda itu mengalami kebangkrutan memang saling
kait-mengkait. Jika dicoba untuk dicari sebab utama kejatuhan VOC itu, maka
banyak persoalan baru yang muncul, ibarat menjawab pertanyaan: mana yang lebih
dulu ada, telur atau ayam?
Jatuhnya VOC itu juga menyebabkan
penderitaan bagi para penanam tanaman ekspor di Indonesia. Sebab dengan
jatuhnya VOC itu maka berubah pula sistem politik dan ekonomi di Indonesia. Para penghasil tanaman
ekspor harus mengikuti perubahan-perubahan harga yang cenderung merosot.
Keadaan ini menimbulkan kemerosotan ekonomi yang hebat di kemudian hari.
Sesungguhnya pada pertengahan abad
ke-18 Gubernur Jenderal Gustaaf van Imholf melakukan usaha-usaha untuk mencegah
kemerosotan ekonomi itu. Ia mengusulkan agar perdagangan dalam negeri dan
perdagangan Asia dibuka untuk pedagang-pedagang perorangan dengan Batavia
sebagai pusatnya. VOC itu bisa mendapatkan uang dengan memungut cukai terhadap
kapal dagang dan barang-barang yang dibawa ke situ. Di samping itu, pada tahun
1745 didirikan Persatuan Candu guna mencegah penyelundupan candu, kemudian juga
dilakukan perluasan perladangan di kawasan tanah tinggi Betawi guna menolong
peladang sekaligus menambah masukan bagi VOC.
Dalam perkembangannya, rencana van
Imholf tersebut gagal karena meletusnya perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas
Said (1749-1757), serta Perang Banten. Setelah perang selesai, tahun 1757 Belanda
melanjutkan usahanya lagi, yaitu dengan membina hubungan yang baik dengan
raja-raja agar bisa kerjasama dengan mereka. Penanaman kopi dan tebu
digalakkan, kemudahan-kemudahan pengangkutan dimajukan, dan pegawai-pegawai VOC
dinaikkan gajinya. Tetapi hutangnya bertambah karena VOC membayar keuntungan
yang tinggi sedangkan kongsi itu tidak mampu berbuat begitu, sementara beberapa peperangan dengan raja-raja semakin
menguras keuangannya.
Peperangan-peperangan Napoleon di
Eropa mengakibatkan perubahan pemerintahan di Nederland. Pada saat itu ternyata
VOC sudah tidak dapat lagi melunasi hutangnya dan sedang porak-poranda pula.
Hutangnya berjumlah 134 juta gulden. Akibatnya pada tanggal 31 Desember 1799
VOC pun dibubarkan. Kekuasaan terhadap semua tanah jajahannya diambilalih oleh
Kerajaan Belanda.
Setelah VOC bubar, Indonesia
diserahkan kepada pemerintah Belanda ( Republik Bataaf). Pegawai-pegawai VOC
menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda tersebut. Hutang VOC juga menjadi
tanggungan pemerintah Belanda. Dengan demikian sejak 1 Januari 1800 Indonesia
dijajah langsung oleh negeri Belanda. Sejak saat itu Indonesia disebut Hindia
Belanda.
Sumber:
SISTEM TANAM PAKSA
A. Proses pelaksanaan cultuurstelsel
di Jawa
Ketentuan-ketentuan pokok sistem
tanam paksa yang tertera dalam Stadsblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22
beberapa tahun setelah tanam paksa mulai dijalankan di Pulau Jawa, berbunyi
sebagai berikut:
1. Persetujuan-persetujuan
akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik
mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual dipasar Eropa.
2. Bagian
tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi
seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian
tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran
pajak tanah.
5. Tanaman
dagangan yang dihasilkan ditanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada
pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir
itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya harus
diserahkan kepada rakyat.
6. Panen
tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan dari pihak rakyat.
7. Penduduk
desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka,
sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah
membajak tanah, panen dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Menurut ketentuan dalam Lembaran
Negara tahn 1834 No. 22, setiap persetujuan yang diadakan pemerintah Hindia
Belanda dengan rakyat mengenai pemakaian sebagian tanah pertanian mereka untuk
penanaman tanaman dagangan harus didasarkan atas kerelaan dari pihak rakyat
tanpa didorong oleh unsur paksaan atau unsur ketakutan. Akan tetapi, dalam
kenyataannya ternyata seluruh pelaksanaan sistem tanam paksa di dasarkan atas
unsur paksaan. Jelaslah kiranya bahwasannya dalam hal ini pemerintah kolonial
menyalahgunakan kekuasaan tradisional dari para bupati dan kepala-kepala desa
untuk memaksa rakyat agar mereka menyerahkan sebagian tanah mereka untuk tujuan
sistem tanam paksa.
Tanah yang dipergunakan untuk
kepentigan tanam paksa sebenarnya tidak pernah mencakup seluruh tanah pertanian
yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari
seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipun areal
yang digunakan relatif terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh
karakter sistem administrasi kolonial.
o Penanaman
Tebu
Penanaman tebu lebih dominan
dilakukan di daerah-daerah pantai utara Jawa yang baik, seperti di Karesidenan
Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Surabaya dan Pasuruan. Ini
dikarenakan dalam menanam tebu diperlukan tanah persawahan yang baik, karena
tanaman tebu memerlukan irigasi yang baik.
Pelaksaan tanaman tebu di berbagai
daerah tersebut berbeda-beda, tetapi tetap dengan patokan-patokan yang
diterapkan oleh Batavia. Ini berarti bahwa petani-petani di Jawa diatur oleh
pemerintah untuk menanami beberapa persen dari tanah mereka denngan tebu.
Mereka lalu wajib menyetor panen tebu ke penggilingan di wilayah mereka, dengan
imbalan yang bergantung pada jumlah dan mutu panen yang disetor. Pabrik
penggilingan tebu tersebut kemudian menjadi hasil panen dalam bentuk gula
kepada perusahaan dagang pemerintah yaitu Nederladsche Handel Maatschappij.
Perusahaan ini bertanggung jawab atas pengiriman gula ke negeri Belanda untuk
di lelang.
Menjelang tahun 1940-an industri
gula sudah mulai terpusat di wilayah-wilayah yang kelak menjadi pusat industri
gula pada abad selanjutnya. Industri gula inilah yang banyak menyedot tenaga
kerja dari rakyat karena persentase lahan yang ditanami tebu sering melampaui
jumlah maksimun yang diizinkan. Pemberian upah kepada para petani tidak selalu
sejajar dengan panen karena terjadi korupsi dari para pegawainya. Para petani
dan pekerja Jawa mendapt sekedar imbalan untuk kerja keras dalam menghasilkan
dan mengangkat tebu ke pabrik-pabrik.
o Penanaman
Indigo
Tanaman indigo merupakan salah satu
tanaman yang menggunakan sistem rotasi dengan tanaman utama yaitu padi. Sebelum
dimulai penanaman, para petani harus membongkar jaringan pematang dan saluran
yang lazimnya digunakan untuk penanaman padi setelah panen tanaman ekspor.
Untuk tanaman indigo, harus digarap oleh beberapa desa secara bersamasama.
Dalam penanaman indigo para petani
tidak hanya diwajibkan tanaman dan merawat tanaman, tetapi juga wajib mengambil
hasil panen (3-4 kali setahun), mengangkut daun nila ke pabrik kemudian mengerjakan
pengolahan nila dalam proses tidak sedap hingga menghasilkan lempengan bahan pewarna
indigo. Pemberian upah didasarkan pada banyaknya bahan pewarna yang dihasilkan
dari nila yang diserahkan para petani.
o Penanaman
kopi
Kopi merupakan barang dagangan yang
sangat menguntungkan dari sistem tanam paksa. Berbeda dengan tebu, kopi
biasanya tidak ditanam pada lahan pertanian biasa, melainkan digabung dengan tanaman
bahan makanan. Tetapi karena kebijakan dari pemerintah Belanda tersebut, petani
seringkali harus menempuh jarak agak jauh untuk menanam kopi, merawatnya, dan
memanen kopi. Pengolahan biji kopi ini hanya mencakup penjemuran dan
pembersihan biji-biji kopi setelah dipetik, yang dilakukan oleh para petani.
Kopi merupakan tanaman ekspor utama
di pulau Jawa. Nilai ekspor kopi dibawah sistem tanam paksa jauh lebih tinggi
yang mencapai 80% keuntungan dibandingkan nilai ekspor gula.
B. Proses pelaksanaan culturstelsel
di luar Jawa
Selain di Jawa, Culturstelsel juga
dijalankan diluar pulau Jawa meskipun dalam skala yang tidak sebanding dengan
di pulau Jawa. Sejak tahun 1822 di Minahasa telah dilaksanakan Culturstelsel
untuk menanam kopi. Sementara di Sumatera Barat pada tahun 1847 pasca Perang
Padri, juga diselenggarakan Culturstelsel untuk tanaman kopi, sedangkan di
Madura juga dijalankan Culturstelsel untuk tanaman tembakau. Disamping itu di
Maluku juga sistem ini dijalankan bahkan sejak masa VOC, yakni untuk tanaman
cengkeh di kepulauan Ambon dan Pala di kepulauan Banda. Sistem tanam paksa di
kepulauan Maluku ini baru dihapuskan pada tahun 1860. Dengan demikian, meskipun
secara umum dikatakan bahwa sistem tanam paksa berlangsung dari tahun
1830-1870, tetapi dalam praktek yang sesungguhnya bahwa sistem tersebut telah
berlangsung jauh sebelum tahun 1830 dan berakhir secara total pada awal abad
ke-20.
Untuk pembudidayaan kopi, lahan-lahan
yang dimanfaatkan adalah tanah kalekeran, yaitu suatu tanah milik distrik yang
kosong dan tidak digarap oleh penduduk karena letaknya yang cukup jauh dari
tempat tinggal mereka. Dalam hal lain upah yang diberikan juga tidak mencukupi
untuk kebutuhan mereka. Setiap pikol pemerintah Belanda hanya membayar £10,
padahal setiap keluarga hanya dapat menghasilkan satu pikol belum lagi dengan
adanya kecurangan-kecurangan yang dijalankan oleh para petugas lapangan dalam
mennimbang kopi. Dalam hal lain, penduduk juga dibebani oleh biaya
pengangkutan, dimana pengangkutan kopi ke gudang-gudang pemerintah yang berada
di wilayah pantai cukup jauh, padahal mereka harus dengan memikulnya. Baru
sejak tahun 1851 pemerintah membuka gudang-gudang di daerah pegunungan,
sehingga pekerjaan penduduk menjadi lebih ringan. Sedangkan pengangkutan dari
gudang-gudang pegu-nungan ke gudang-gudang di daerah pantai dilakukan oleh para
pekerja yang diberi upah. Semenjak tahun 1820 hingga tahun 1840, di Minangkabau
kopi telah di budidaya secara perorangan sebelum diberlakukannya Culturstelsel.
Sebagaimana halnya di Minahasa, di Minangkabau juga penanaman kopi dilakukan di
daerah-daerah pegunungan. Lahan-lahan yang dipakai juga dalam kategori lahan
tidur yang kurang produktif untuk pertanian lain. Karena sebagian besar kopi
ditanam di daerah-daerah pegunungan terutama lahan-lahan yang berada dalam
kawasan hutan, maka kopi Minangkabau lebih sering dikenal sebagai “kopi hutan”.
Seperti halnya di Minahasa, di Minangkabau juga penduduk di bebani dengan kerja
tanpa upah untuk membangun sarana-sarana terutama jalan-jalan dan jembatan
untuk keperluan pengangkutan kopi dari daerah pegunungan ke Padang. Sementara
para pemimpin tradisional yang bertugas menggerakkan penduduk adalah para
penghulu, sehingga dengan ikatan tradisioanal tersebut penduduk patuh pada
atasannya.
Sistem tanam paksa di Sumatera Barat mengalami kesuksesan yang
cukup besar karena beberapa faktor diantaranya adalah:
a. Harga kopi
yang tetapkan yaitu sekitar £7 per pikul sehingga membantu meningkatkan
produksi kopi pada awal tahun-tahun pelaksanaan sistem tanam paksa.
b. Tersedianya
tenaga kerja yang cukup banyak yang dapat dikerahkan untuk keperluan penerapan
budidaya tanam kopi tersebut.
c. Adanya
tradisi dagang yang telah tertanam dan menjiwai masyarakat Mnangkabau yang
menyebabkan orang terdorong untuk menjalankan pekerjaan yang menghasilkan uang.
Pada tahun 1864, pelaksanaan sistem
tanam paksa mencapai puncaknya yaitu meningkat dari 58.000 pikul (3,5 juta kg)
sampai 173.000 pikul (10,5 juta kg) setahun. Tapi dalam satu dasawarsa setelah
mencapai puncak ini produksi kopi menurun drastis dan pemerintah tidak mampu
mengatasi hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
o Berkurangnya
lahan pertanian yang cocok untuk ditanami tanaman kopi.
o Munculnya
penyakit daun yang menghinggapi pohon-pohon kopi sehingga menyebabkan gagal
panen.
o Perang Aceh
yang berlangsung relatif lama sehingga banyak menguras perhatian pemerintah
Belanda untuk menanganinya, sementara budidaya kopi menjadi kurang
diperhatikan.
o Cara-cara
pengelolaan yang kurang baik karena terbiasa dengan pola budidaya perseorangan
yang telah berlangsung sebelum sistem tanam paksa diterapkan.
C. Dampak cultuurstelsel
bagi rakyat
Jika kita melihat dampak tanam
paksa yang dijalankan oleh Van Den Bosch, maka pihak Belandalah yang
mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang
diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan
hidup. Namun dari sekian banyak dampak negatif, masih terdapat dampak positif
yang dirasakan oleh bangsa Indonesia.
Dampak negatif dari pelaksanaan tanam paksa:
Ø Waktu yang
dibutuhkan dalam penggarapan budidaya tanaman ekspor seringkali mengganggu
kegiatan penanaman padi. Persiapan lahan untuk tanaman kopi biasanya
berbenturan dengan penanaman padi.
Ø Penggarapan
tanaman ekspor seperti tebu membutuhkan air yang sangat besar sehingga
memberatkan petani.
Ø Budidaya
tebu dan nila menggunakan sebagian besar tanah sawah petani yang baik dan
bernilai paling tinggi.
Ø Pelaksanaan
sistem tanam paksa ini melipatgandakan kebutuhan akan hewan terak petani, tidak
hanya untuk pekerjaan di ladang tetapi juga sebagai alat angkut hasil tanaman
ekspor menuju pabrik atau pelabuhan.
Ø Timbulnya
bahaya kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga angka kematian
meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat
mengerikan di daerah Cirebon (1843). Demak (1849), dan Grobongan (1850).
Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu,
juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) dimana-mana.
Dampak positif dari pelaksanaan sistem tanam paksa:
a. Rakyat
Indonesia mengenal berbagai teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
b. Meningkatkan
jumlah uang yang beredar di pedesaan, sehingga memberikan rangsangan bagi
tumbuhnya perdagangan.
c. Munculnya
tenaga kerja yang ahli dalam kegiatan non pertanian yang terkait dengan
perkebunan dan pepabrikan di pedesaan.
d. Penyempurnaan
fasilitas yang digunakan dalam proses tanam paksa, seperti jalan, jembatan,
penyempurnaan fasilitas pelabuhan dan pabrik dan gudang untuk hasil budidayanya.
Terdapat dampak lain yaitu para
pemilik sawah harus menyerahkan sebagian dari sawah-sawahnya untuk menanam tebu
menurut suatu skema rotasi tertentu dengan penanaman padi. Selain itu penduduk
desa juga diharuskan melakukan pekerjaan wajib seperti menanam, memotong,
mengangkat tebu ke pabrik-pabrik gula. Pekerjaan-pekerjaan wajib ini merupakan
beban berat dari penduduk desa. Kadang-kadang seluruh penduduk desa dikerahkan
bekerja untuk kepentingan pemerinah kolonial maupun untuk kepentingan
pejabat-pejabat dan kepalakepala sendiri. Hal yang terakhir ini dilakukan dalam
bentuk kerja rodi, baik untuk pemerintahan kolonial maupun untuk kepala-kepala
melakukan pekerjaan wajib, seperti menanam, memotong, dan mengangkut dan
bekerja di pabrik-pabrik itu sendiri.
Sumber:
SISTEM EKONOMI KAPITALIS LIBERAL
Sistem
ekonomi kapitalis atau disebut juga sistem ekonomi liberal adalah suatu sistem
ekonomi yang kehidupan ekonomi masyarakatnya sangat dipengaruhi atau dikuasai
oleh pemilik-pemilik kapital (modal). Sistem ini mula-mula berkembang di
Inggris pada pertengahan abad ke-18, setelah Adam Smith yang dikenal sebagai
Bapak Ilmu Ekonomi menerbitkan buku “The
Wealth of Nations”.
Adam
Smith mempunyai pandangan bahwa kepentingan pribadi merupakan kekuatan
pengendali kehidupan ekonomi yang akan berjalan ke arah kemakmuran bangsa. Jika
setiap orang diberi kebebasan, semuanya akan berusaha untuk mencapai kemakmuran
bagi dirinya sendiri. Tidak akan ada orang menghendaki kemiskinan atau
kesengsaraan bagi dirinya sendiri. Dengan demikian jika setiap individu sudah
makmur, maka seluruh rakyat akan makmur, sebab masyarakat tidak lain merupakan
kumpulan individu.
Kebebasan
yang dimaksudkan Adam Smith, antara lain mencakup kebebasan menjalankan usaha,
kebebasan memiliki alat-alat produksi, kebebasan menetapkan harga, kebebasan
untuk mengadakan persaingan, dan kebebasan mengadakan perundingan. Dengan
adanya kebebasan ini diharapkan adanya dorongan bagi setiap individu untuk
bekerja lebih giat, berlomba ke arah kemajuan ekonomi, sehingga kemakmuran
dapat ditingkatkan.
Semboyan
kaum liberal adalah “laissez faire” artinya
biarkanlah. Semboyan ini mempunyai makna “biarkanlah mereka melakukan pekerjaan
yang sesuai dengan keinginan mereka, biarkanlah produksi dan harga ditentukan
oleh permintaan dan penawaran di pasar bebas, tanpa adanya campur tangan
pemerintah”. Tugas pemerintah adalah menjaga keamanan, menegakkan hukum, dan
menyelenggarakan pekerjaan umum.
Ciri-ciri sistem ekonomi kapitalis (liberal)
1. Pemilikkan
alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, mesin-mesin oleh pihak swasta baik
perseorangan maupun perusahaan; Setiap orang memiliki kebebasan memiliki
alat-alat produksi.
2. Adanya
kebebasan berusaha dan bersaing; Setiap orang bebas memilih lapangan
pekerjaannya (mendirikan perusahaan) dan bebas bersaing dengan cara apapun.
Produksi dilaksanakan oleh para pengusaha swasta atas prakarsa dan tanggung
jawabnya sendiri.
3. Para
produsen bebas menentukan apa dan berapa yang akan diproduksi, didorong oleh
motif mencari keuntungan sebesar-besarnya.
4. Harga-harga
dibentuk di pasar bebas yang ditentukan oleh pertemuan antara permintaan dan
penawaran.
5. Campur
tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi tidak dibenarkan.
Dalam kenyataannya kebebasan yang
dikehendaki oleh kaum kapitalis, selain telah membawa kemajuan ekonomi yang
pesat (industri dan perdagangan), juga telah mengakibatkan kesengsaraan bagi
banyak orang. Sistem ekonomi ini ternyata memiliki keburukan-keburukan:
v Konsentrasi
(pemusatan) kekuasaan ekonomi pada kelompok tertentu, sehingga muncul bentuk
monopoli. Tidak selalu mekanisme pasar itu merupakan suatu sistem pasar
persaingan sempurna, di mana harga ditentukan oleh permintaan pembeli dan
penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Dalam kenyataannya satu atau beberapa
perusahaan raksasa menguasai pasar. Mereka memiliki kekuasaan yang sangat besar
dalam menentukan harga dan menentukan jumlah barang yang ditawarkan. Mereka
selalu membatasi produksi pada tingkat di mana mereka akan memperoleh
keuntungan maksimum.
v Ketimpangan
dan ketidakmerataan dalam pembagian pendapatan, sehingga memperlebar jurang
antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Kebebasan yang tidak ada batasnya
dalam kegiatan ekonomi merugikan golongan yang lemah, sebab mereka akan kalah
bersaing. Perusahaan besar bersaing dengan perusahaan kecil, sehingga akhirnya
menimbulkan semacam “kanibalisme”. Kekayaan makin bertambah pada golongan yang
kuat, sedangkan golongan yang lemah akan jatuh miskin, yaitu para pengusaha
kecil dan kaum buruh.
v Kehidupan
ekonomi sering tidak stabil, adanya gelombang konjungtur. Mekanisme pasar bebas
menyebabkan perekonomian selalu mengalami kemakmuran yang tinggi, tetapi pada
masa berikutnya akan mengalami kemerosotan yang luar biasa. Para pengusaha
dapat memperoleh keuntungan yang banyak secara mendadak di suatu saat, dan
mengalami kehancuran pada masa berikutnya. Demikian pula inflasi dapat
tiba-tiba muncul, dan pengangguran yang tinggi dapat muncul pada masa
berikutnya. Ketidakstabilan ekonomi seperti ini sangat merugikan masyarakat
banyak.
Di samping keburukannya, terdapat kelebihan-kelebihan sistem
ekonomi kapitalis (liberal), yaitu:
o Kualitas
barang terjamin, karena setiap individu berusaha untuk menghasilkan barang
dengan kualitas yang baik agar dapat bersaing.
o Kualitas
pelayanan terjamin, karena kualitas pelayanan merupakan bagian dari persaingan.
o Adanya
persaingan mendorong masing-masing individu berusaha untuk maju dan bertindak
secara efisien.
o Tiap-tiap
orang bebas memilih pekerjaan yang mereka sukai sesuai dengan bakatnya.
o Produksi
didasarkan atas kebutuhan masyarakat.
Sumber :
ERA KEDUDUKAN JEPANG
A. Masuknya Jepang ke Indonesia
Jepang dengan mudah menguasai daerah-daerah Asia Timur dan
Asia Tenggara, termasuk Indonesia, karena:
1. Jepang
telah berhasil menghancurkan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl
Harbour, Hawaii pada tanggal 7 Desember 1941
2. Negeri-negeri
induk (Inggris, Perancis, dan Belanda) sedang menghadapi peperangan di Eropa
melawan Jerman
3. Bangsa-bangsa
di Asia sangat percaya dengan semboyan Jepang (Jepang pemimpin Asia, Jepang
cahaya Asia, dan Jepang pelindung Asia) sehingga tidak memberi perlawanan.
Bahkan, kehadiran Balatentara Jepang disambut dengan suka cita karena Jepang
dianggap sebagai ‘saudara tua’ yang akan membebaskan bangsa-bangsa Asia dari
belenggu penjajahan negara-negara Barat.
Secara resmi Jepang telah menguasai
Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942, ketika Panglima Tertinggi Pemerintah
Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Bandung, Jepang tanpa banyak
menemui perlawanan yang berarti berhasil menduduki Indonesia. Bahkan, bangsa
Indonesia menyambut kedatangan balatentara Jepang dengan perasaan senang,
perasaan gembira karena akan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan bangsa Belanda.
Sebenarnya, semboyan Gerakan 3A dan
pengakuan sebagai ‘saudara tua’ yang disampaikan Jepang merupakan tipu muslihat
agar bangsa Indonesia dapat menerima kedatangan Balatentara Jepang. Pada
awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan hangat oleh bangsa
Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan negara
imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis baru, seperti Jerman dan
Italia. Sebagai negara imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan mentah
untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan pasar bagi barang-barang industrinya.
Oleh karena itu, daerah jajahan menjadi sangat penting artinya bagi kemajuan
industri Jepang. Apalah arti kemajuan industri apabila tidak didukung dengan
bahan mentah (baku) yang cukup dengan harga yang murah dan pasar barang hasil
industri yang luas.
Dengan demikian, jelas bahwa tujuan
kedatangan Balatentara Jepang ke Indonesia adalah untuk menanamkan
kekuasaannya, untuk menjajah Indonesia. Artinya, semboyan Gerakan 3A dan
pengakuan sebagai ‘saudara tua’ merupakan semboyan yang penuh kepalsuan. Hal
itu dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan yang terjadi selama pendudukan
Balatentara Jepang di Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan Jepang lebih kejam
sehingga bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan. Sumber-sumber ekonomi
dikontrol secara ketat oleh pasukan Jepang untuk kepentingan peperangan dan
industri Jepang, melalui berbagai cara berikut:
a. Tidak
sedikit para pemuda yang ditangkap dan dijadikan romusha. Romusha adalah tenaga
kerja paksa yang diambil dari para pemuda dan petani untuk bekerja paksa pada
proyek-proyek yang dikembangkan pemerintah pendudukan Jepang. Banyak rakyat
kita yang meninggal ketika menjalankan romusha, karena umumnya mereka menderita
kelaparan dan berbagai penyakit.
b. Para petani
diawasi secara ketat dan hasil-hasil pertanian harus diserahkan kepada
pemerintah Balatentara Jepang.
c. Hewan
peliharaan penduduk dirampas secara paksa untuk dipotong guna memenuhi
kebutuhan konsumsi perang.
B. Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang
Setelah menduduki Indonesia Jepang mengambil berbagai
kerbijakan. Kebijakan Pemerintah Balatentara Jepang, meliputi berbagai bidang,
diantaranya:
·
Bidang Ekonomi
a. Perluasan
areal persawahan
b. Pengawasan
pertanian dan perkebunan
Pelaksanaan pertanian diawasi
secara ketat dengan tujuan untuk mengendalikan harga barang, terutama beras.
Hasil pertanian diatur sebagai berikut: 40% untuk petani, 30% harus dijual
kepada pemerintah Jepang dengan harga yang sangat murah, dan 30% harus
diserahkan ke ‘lumbung desa’. Ketentuan itu sangat merugikan petani dan yang
berani melakukan pelanggaran akan dihukum berat. Badan yang menangani masalah
pelanggaran disebut Kempetai (Korps Polisi Militer), suatu badan yang sangat
ditakuti rakyat.
Pengawasan terhadap produksi
perkebunan dilakukan secara ketat. Jepang hanya mengizinkan dua jenis tanaman
perkebunan, yaitu karet dan kina. Kedua jenis tanaman itu berhubungan langsung
dengan kepentingan perang. Sedangkan tembakau, teh, kopi harus dihentikan
penanamannya karena hanya berhubungan dengan kenikmatan. Padahal, ketiga jenis
tanaman itu sangat laku di pasaran dunia. Dengan demikian, kebijakan pemerintah
Jepang di bidang ekonomi sangat merugikan rakyat.
Pengerahan sumber daya ekonomi
untuk kepentingan perang. Untuk menguasai hasil-hasil pertanian dan kekayaan
penduduk, Jepang selalu berdalih bahwa untuk kepentingan perang. Setiap
penduduk harus menyerahkan kekayaannya kepada pemerintah Jepang. Rakyat harus
menyerahkan barang-barang berharga (emas dan berlian), hewan, bahan makanan
kepada pemerintah Jepang. Untuk memperlancar usaha usahanya, Jepang membentuk
Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa) dan Nogyo Kumiai (Koperasi
Pertanian).
Kebijakan-kebijakan pemerintah
Jepang di bidang ekonomi telah mengakibatkan kehidupan rakyat Indonesia semakin
sengsara dan penuh penderitaan. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia
selama pendudukan Jepang lebih buruk apabila dibandingkan dengan penderitaan
dan kesengsaraan pada masa penjajahan Belanda. Padahal, Jepang menduduki
Indonesia hanya tiga setengah tahun, sedangkan Belanda menjajah Indonesia
selama tiga setengah abad.
·
Bidang Pemerintahan
Pada dasarnya pemerintahan
pendudukan Jepang adalah pemerintahan militer yang sangat diktator. Untuk
mengendalikan keadaan, pemerintahan dibagi menjadi beberapa bagian. Jawa dan
Madura diperintah oleh Tentara ke 16 dengan pusatnya di Jakarta (dulu Batavia).
Sumatera diperintah oleh Tentara ke 25 dengan pusatnya di Bukittinggi (Sumbar).
Sedangkan Indonesia bagian Timur diperintah oleh Tentara ke 2 (Angkatan Laut)
dengan pusatnya di Makasar (Sulsel). Pemerintahan Angkatan Darat disebut Gunseibu, dan pemerintahan Angkatan
Laut disebut Minseibu.
Masing-masing daerah dibagi menjadi
beberapa wilayah yang lebih kecil. Pada awalnya, Jawa dibagi menjadi tiga
provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) serta dua daerah istimewa,
yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Pembagian ini diang-gap tidak efektif sehingga
dihapuskan. Akhirnya, Jawa dibagi menjadi 17 Karesidenan (Syu) dan diperintah
oleh seorang Residen (Syucokan). Keresidenan terdiri dari kotapraja (Syi),
kabupaten (Ken), kawedanan atau distrik (Gun), kecamatan (Son), dan desa
(Ku).
Sumatera dibagi menjadi 10 karesidenan dan beberap
sub-karesidenan (Bunsyu), distrik, dan kecamatan. Sedangkan daerah Indonesia
Timur yang dikuasai Angkatan Laut Jepang dibagi menjadi tiga daerah kekuasaan,
yaitu: Kalimantan, Sulawesi, dan Seram (Maluku dan Papua). Masing-masing daerah
itu dibagi menjadi beberapa karesidenan, kabupaten, sub-kabupaten (Bunken),
distrik, dan kecamatan.
Pembagian daerah seperti di atas
dimaksudkan agar semua daerah dapat diawasi dan dikendalikan untuk kepentingan
pemerintah balatentara Jepang. Namun, untuk menjalankan pemerintahan yang
efektif dibutuhkan jumlah personil (pegawai) yang banyak jumlahnya. Sedangkan
jumlah orang Jepang yang ada di Indonesia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
tenaga dalam bidang pemerintahan. Untuk mengawai dan menjalankan pemerintahan
secara efektif merupakan tantangan yang berat karena terbatasnya jumlah pegawai
atau orang-orang yang dapat dipercaya untuk memegang jabatan penting dalam
pemerintahan.
Untuk mengatasi kekurangan jumlah pegawai, pemerintah Jepang
dapat menempuh beberapa pilihan, di antaranya:
o Memanfaatkan
orang-orang Belanda yang masih ada di Indonesia. Pilihan ini sangat tidak
mungkin karena Jepang sedang menanamkan sikap anti Belanda di kalangan
pen-duduk Indonesia.
o Menggunakan
tenaga Timur Asing (Cina). Pilihan ini juga sangat berat karena Cina dianggap
sebagai lawan politik Jepang yang paling berbahaya untuk mewujudkan cita-cita
Jepang, yaitu membangun Asia Timur Raya.
o Memanfaatkan
penduduk Indonesia. Pilihan ini dianggap yang paling realistik karena sesuai
dengan semboyan ‘Jepang sebagai saudara tua’ yang ingin membebaskan suadara
mudanya dari belenggu penjajahan bangsa Eropa. Di samping itu, pemakaian bangsa
Indonesia sebagai dalih agar bangsa Indonesia benar-benar bersedia membantu
untuk memenangkan perang yang sedang dilakukan Jepang.
Sebenarnya, pilihan-pilihan di atas
sama-sama tidak menguntungkan. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan (bahkan
terpaksa) Jepang memilih penduduk Indonesia untuk membantu menjalankan roda
pemerintahan. Jepang pun dengan berat harus menyerahkan beberapa jabatan kepada
orang Indonesia. Misalnya, Departemen Urusan Agama dipimpin oleh Prof. Husein
Djajadiningrat, serta Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A. Surio sebagai
Residen Jakarta dan Residen Bojonegoro. Di samping itu, beberapa tokoh nasional
yang mendapat kepercayaan untuk ikut menjalankan roda pemerintahan adalah Ir.
Soekarno, Mr. Suwandi, dr. Abdul Rasyid, Prof. Dr. Supomo, Mochtar bin Prabu
Mangkunegoro, Mr. Muh, Yamin, Prawoto Sumodilogo, dan sebagainya. Bahkan,
kesempatan untuk duduk dalam Badan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), semacam
Volksraad pada zaman Belanda semakin terbuka.
Kesempatan untuk menduduki beberapa
jabatan dalam pemerintahan Jepang dan menjalankan roda pemerintahan merupa-kan
pengalaman yang berharga bagi bangsa Indonesia, terutama setelah Indonesia
merdeka. Sebagai bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia harus mampu menjalankan
pemerintahan secara baik. Oleh karena itu, pengalaman pada masa pemerin-tahan
Jepang merupakan modal yang sangat berguna karena bangsa Indonesia memiliki
kemampuan untuk mengelola orga-nisasi besar seperti negara.
·
Bidang Militer
Sejak awal pendudukannya, Jepang
selalu berusaha menarik hati bangsa Indonesia agar bersedia membantu pemerintah
Jepang dalam usaha untuk memenangkan peperangan melawan Sekutu. Bangsa
Indonesia hampir selalu dilibatkan dalam berbagai organisasi militer maupun
organisasi semi militer.
Beberapa organisasi militer yang dibentuk pemerintah Jepang,
diantaranya:
v Heiho
(pembantu prajurit Jepang) adalah kesatuan militer yang dibentuk oleh
pemerintah Jepang yang beranggotakan para pemuda Indonesia. Heiho menjadi
bagian Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang. Anggota Heiho mendapat
latihan kemiliteran agar mampu menggantikan prajurit Jepang di dalam
peperangan. Para anggota Heiho mendapat latihan untuk menggunakan senjata
(senjata anti pesawat, tank, artileri medan, mengemudi, dan sebagainya). Namun,
tidak ada satupun anggota Heiho yang berpangkat perwira. Pangkat perwira hanya
dipeuntukkan bagi orang-orang Jepang. Para anggota Heiho mendapat latihan
kemiliteran. Untuk itu, pemerin-tah Jepang menugaskan seksi khusus dari bagian
intelejen untuk melatih para anggota Heiho. Latihan dipimpin oleh Letnan
Yana-gawa dengan tujuan agar para pemuda Indonesia dapat melak-sanakan tugas
intelejen.
v Pembela
Tanah Air (PETA) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943. Menjelang berakhirnya
latihan kemiliteran angkatan ke 2, keluarlah surat perintah untuk membentuk
PETA. Namun, Letjen Kamakici Harada memutuskan agar pembentukkan PETA bukan
inisiatif pemerintah Jepang, melainkan inisiatif bangsa Indonesia. Untuk itu,
dicarilah seorang putera Indonesia yang berjiwa nasionalis untuk memimpin PETA.
Akhirnya, pemerintah Balatentara Jepang meminta Gatot Mangunpraja (seorang
nasionalis yang bersimpati terhadap Jepang) untuk menulis permohonan
pembentukkan tentara PETA. Surat permohonan telah dikirim pada tanggal 7
September 1943 dan permohonan itu dikabulkan dengan dikeluarkan peraturan yang
disebut Osamu Seirei No. 44, tanggal 3 Oktober 1943. Pembentukkan PETA,
ternyata menarik perhatian para pemuda Indonesia, terutama yang telah mendapat
pendidikan sekolah menengah dan para anggota Seinendan. Keanggotaan PETA
dibedakan dalam beberapa pangkat yang berbeda (sebenarnya bukan pangkat, tetapi
nama jabatan). Ada lima macam pangkat, yaitu: (1) Daidanco (Komandan Batalyon),
(2) Cudanco (Komandan Kompi), (3) Shudanco (Komandan Peleton), (4) Budanco
(Komanda Regu), dan (5) Giyuhei (Prajurit Sukarela).
Daidanco (Komandan Batalyon)
dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat yang terkemuka seperti pegawai pemerintah,
pemimpin agama, pamong praja, para politikus, penegak hukum, dan sebagainya.
Cudanco (Komandan Kompi) dipilih dari mereka yang bekerja, tetapi belum
memiliki jabatan yang tinggi seperti para guru, juru tulis, dan sebagainya.
Shudanco (Komandan Peleton) biasanya dipilih dari para pelajar sekolah lanjutan
pertama dan atas. Budanco (Komanda Regu) dan Giyuhei (Prajurit Sukarela)
dipilih dari para pelajar sekolah dasar.
Para pemuda yang menjadi anggota
PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu; (1) mereka yang menjadi anggota PETA
dengan semangat yang tinggi, (2) mereka yang menjadi anggota PETA karena
dipengaruhi orang lain, dan (3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan
perasaan acuh tak acuh. Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa kemenangan
Jepang dalam Perang Pasifik akan membawa perubahan hidup bangsa Indonesia,
yaitu sebagai bangsa yang merdeka. Di samping itu, ada yang percaya pada
ramalan Joyoboyo bahwa Jepang akan
meninggalkan Indonesia dan Indonesia akan menjadi negara yang merdeka. Untuk
itu, Indonesia memerlukan tentara untuk mengamankan wilayahnya.
Para anggota PETA mendapat
pendidikan militer di Bogor pada lembaga Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai
(Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama
lembaga itu kemudian berubah menjadi Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps
Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah
mendapat pendi-dikan, mereka ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di
Jawa, Madura, dan Bali.
Dalam perkembangannya, beberapa
anggota PETA mulai kecewa terhadap pemerintah Balatentara Jepang. Kekecewaan
itu berujung pada meletusnya pemberontakkan. Pemberontakkan PETA terbesar
terjadi di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang djipimpin oleh Supriyadi.
Pemberontakkan itu dipicu karena kekejaman Jepang dalam memperlakukan para
pemuda yang dijadikan tenaga romusha.
Adapun organiasi semi militer yang dibentuk Jepang, antara
lain:
1. Gerakan 3A
(Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, dan Jepang Pelindung Asia) merupakan
organisasi sosial yang bertujuan untuk mewadahi bangsa Indonesia agar lebih
mudah untuk mengaturnya, terutama untuk mencapai tujuan Jepang. Gerakan 3A yang
dipimpin oleh Mr. Syamsuddin, bertujuan:
§ Menghimpun
bangsa indonesia untuk mengabdi kepada kepentingan Jepang.
§ Mempropagandakan
kemenangan Jepang.
§ Menanamkan
anti Barat, terutama Belanda, Inggris, dan USA.
2. Pusat
Tenaga Rakyat (Putera). Putera dibentuk untuk menggantikan Gerakan 3 A.
Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan semangat bangsa
Indonesia dalam membantu pemerintah Jepang dalam perang melawan Sekutu. Putera
didirikan pada tanggal 1 Maret 1943 dipimpin oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh.
Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kyai Haji Mansyur. Mengapa Jepang memilih
tokoh-tokoh yang terkenal dan berpengaruh untuk memimpin Putera? Namun, para
tokoh pergerakan nasional itu ingin menggunakan Putera sebagai alat perjuangan.
Maksud tersebut diketahui oleh Jepang sehingga organisasi itu dibubarkan pada
tahun 1944. Dengan demikian, maksud pembentukkan Putera tidak dapat mencapai
hasil yang diinginkan.
3. Jawa
Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa). Organisasi ini dibentuk pada tahun 1944,
setelah kedudukan pasukan Jepang semakin terdesak. Tujuannya adalah untuk
menggerakan seluruh rakyat Indonesia agar berbakti kepada Jepang. Sebagai tanda
bahwa rakyat benar-benar berbakti, maka rakyat harus rela berkurban, baik harta
benda maupun jiwa dan raga untuk kepentingan perang Jepang. Rakyat Indonesia
harus menyerah-kan emas, intan, dan segala harta benda (terutama beras) untuk
kepentingan perang.
Akibatnya, kemiskinan merajalela di
mana-mana, rakyat hanya berpakaian karung goni, rakyat banyak yang mati karena
kelaparan. Rakyat dididik/dilatih kemiliteran untuk memperkuat pertahanan
Indonesia apabila diserang oleh Sekutu. Rakyat dipaksa untuk melaksanakan kerja
paksa untuk membangun barak-barak militer. Rakyat dipaksa untuk menjadi
romusha.
·
Bidang Sosial
Salah satu kebijakan yang cukup
penting dalam bidang sosial adalah pembagian kelas masyarakat seperti pada
zaman Belanda. Masyarakat hanya dibedakan menjadi ‘saudara tua’ (Jepang) dan
‘saudara muda’ (Indonesia). Sedangkan penduduk Timur asing, terutama Cina
adalah golongan masyarakat yang sangat dicurigai karena di negeri leluhurnya
bangsa Cina telah mempersulit bangsa Jepang dalam mewujudkan cita-citanya. Hal
ini sesuai dengan propaganda Jepang bahwa ‘Asia untuk bangsa Asia’. Namun dalam
kenyataannya, Indonesia bukan untuk bangsa Asia, melainkan untuk bangsa Jepang.
Untuk mencapai tujuannya, Jepang mengeluarkan beberapa kebijakan di bidang
sosial, seperti:
a. Pembentukkan
Rukun Tetangga (RT)
Untuk mempermudah pengawasan dan
pengerahan penduduk, pemerintah Jepang membentuk Tanarigumi (RT). Pada waktu
itu, Jepang membutuhkan tenaga yang sangat besar jumlahnya untuk membuat
benteng-benteng pertahanan, lapangan pesawat terbang darurat, jalan, dan
jembatan. Pengerahan masyarakat sangat terasa dengan adanya Kinrohoishi (kerja bakti
yang menyerupai dengan kerja paksa). Oleh karena itu, pembentukkan RT dipandang
sangat efektif untuk mengerahkan dan mengawasi aktivitas masyarakat.
b. Romusha
Romusha adalah pengerahan tenaga
kerja secara paksa untuk membantu tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh
Jepang. Pada awalnya, romusha dilaksanakan
dengan sukarela, tetapi lama-kelamaan dilaksanakan secara paksa. Bahkan,
setiap desa diwajibkan untuk menyediakan tenaga dalam jumlah tertentu. Hal itu
dapat dimaklumi karena daerah peperangan Jepang semakin luas. Tenaga romusha
dikirim ke beberapa daerah di Indonesia, bahkan ada yang dikirim ke Malaysia,
Myanmar, Serawak, Thailand, dan Vietnam. Para tenaga romusha diperlakukan
secara kasar oleh Balatentara Jepang. Mereka dipaksa untuk bekerja berat tanpa
mendapatkan makanan, minuman, dan jaminan kesehatan yang layak.
Kekejaman Jepang terhadap tenaga
romusha menyebabkan para pemuda berusaha menghindar agar tidak dijadikan tenaga
romusha. Akhirnya, Jepang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kasar.
c. Pendidikan
Pada zaman Jepang, pendidikan
mengalami peru-bahan. Sekolah Dasar (Gokumin Gakko) diperuntukkan untuk semua
warga masyarakat tanpa membedakan status sosialnya. Pendidikan ini ditempuh
selama enam tahun. Sekolah menengah dibedakan menjadi dua, yaitu: Shoto Chu
Gakko (SMP) dan Chu Gakko (SMA). Di samping itu, ada Sekolah Pertukangan (Kogyo
Gakko), Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Sermon Gakko), dan Sekolah Guru yang
dibedakan menjadi tiga tingkatan. Sekolah Guru dua tahun (Syoto Sihan Gakko),
Sekolah Guru empat tahun (Guto Sihan Gakko), dan Sekolah Guru dua tahun (Koto
Sihan Gakko).
Seperti pada zaman Belanda, Jepang
tidak menyelenggarakan jenjang pendidikan universitas. Yang ada hanya Sekolah
Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Tinggi Teknik (Kagyo Dai
Gakko) di Bandung. Kedua Sekolah Tinggi itu meru-pakan kelanjutan pada zaman
Belanda. Untuk menyiapkan kader pamong praja diselenggarakan Sekolah Tinggi
Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta.
d. Penggunaan
Bahasa Indonesia
Menurut Prof. Dr. A. Teeuw (ahli
Bahasa Indonesia berkebangsaan Belanda) bahwa pendu-dukan Jepang merupakan masa
bersejarah bagi Bahasa Indonesia. Tahun 1942, pemerintah pendudukan Jepang
melarang penggunaan Bahasa Belanda dan digantikan dengan Bahasa Indonesia.
Bahkan, pada tahun 1943 semua tulisan yang berbahasa Belanda dihapuskan diganti
dengan tulisan berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia tidak hanya
sebagai bahasa pergaulan, tetapi telah menjadi bahasa resmi pada instansi
pemerintah dan lembaga pendidikan. Sejak saat itu, banyak karya sastra telah
ditulis dalam Bahasa Indonesia, seperti karya Armin Pane yang berjudul Kami
Perempuan (1943), Djinak-djinak Merpati, Hantu Perempuan (1944), Barang Tidak
Berharga (1945), dan sebagai-nya. Pengarang lain seperti Abu Hanifah yang lebih
dikenal dengan nama samaran El Hakim dengan karyanya berjudul Taufan di atas
Angin, Dewi Reni, dan Insan Kamil. Selain itu, penyair terkenal pada masa
pendudukan Jepang, Chairil Anwar yang mendapat gelar tokoh Angkatan ’45 dengan
karyanya: Aku, Kerawang Bekasi, dan sebagainya.
Dengan demikian, pemerintah
pendudukan Jepang telah mem-berikan kebebasan kepada bangsa Indonesia untuk
mengguna-kan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar,
bahasa komunikasi, bahasa resmi, bahasa penulisan, dan sebagainya. Bahasa
Indonesia pun berkembang ke seluruh pelosok Tanah Air.
Sumber:
RAHMATIA KAMALA
25215574
CITA
CITA EKONOMI INDONESIA
Bangsa
Indonesia sudah sejahtera. Lembaga rentenir Internasional, IMF (Dana Moneter
Internasional), turut terkesima dan memuja-muja pertumbuhan itu.Namun, fakta
lain juga sangat mencengankan. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan
ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi
0,41. Padahal, pada tahun 2005, rasio
Indonesia masih 0,33.Data lain juga menunjukkan, kekayaan 40 orang terkaya
Indonesia mencapai Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33%
PDB. Konon, nilai kekayaan dari 40 ribu orang itu setara dengan kekayaan 60%
penduduk atau 140 juta orang. Data lain menyebutkan, 50 persen kekayaan ekonomi
Indonesia hanya dikuasai oleh 50 orang.
Pertumbuhan
ekonomi yang spektakuler itu tidak mencerminkan kesejahteraan rakyat. Yang
terjadi, sebagian besar aset dan pendapat ekonomi hanya dinikmati segelintir
orang. Sementara mayoritas rakyat tidak punya aset dan akses terhadap sumber
daya ekonomi. Akhirnya, terjadilah fenomena: 1% warga negara makin makmur,
sementara 99% warga negara hidup pas-pasan.“Apakah pembangunan ekonomi semacam
itu yang menjadi cita-cita kita berbangsa?”
Bung
Hatta pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya
kaya dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta,
Indonesia Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat.
“Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk
sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung Hatta di
New York, AS, tahun 1960). Karena itu, para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno
dan Bung Hatta, kemudian merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”.
Ada dua garis besar cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa
ekonomi kolonial dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat
adil dan makmur. Artinya, dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita
perekonomian kita tidak menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak
menginginkan penumpukan kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi
pemelaratan mayoritas rakyat. Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki
kemakmuran seluruh rakyat.Agar cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses
penyelenggaran negara, maka para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam
buku Konstitusi Negara kita: Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD
1945 merupakan sendi utama bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik
sosial Republik Indonesia.
Dalam
pasal 33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran
bersama itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang
bersifat aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi
(ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi,
yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme).
Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi,
termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Akan tetapi, sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian
di era Gus Dur), proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian
ala pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan
didikte oleh kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia
Barkeley”. Lalu, pada masa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan
didikte secara langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia,
dan WTO. Akibatnya, cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan
pun kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah
mengekal-kannya, yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik
upah murah, ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke
negeri-negeri kapitalis maju.
EKONOMI
INDONESIA SETIAP PERIODE PEMERINTAHAN ORDE LAMA, ORDE BARU,DAN REFORMASI
Indonesia
sebagai negara yang baru merdeka dituntut untuk mampu menghidupi negaranya
sendiri dalam berbagai aspek kehidupan, terutama aspek ekonomi. Perkembangan
ekonomi Indonesia mengalami perkembangan mulai masa pemerintahan Presiden
Soekarno yang dikenal dengan zaman Orde Lama. Kemudian mengalami perkembangan
pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan zaman Orde Baru.
Hingga zaman reformasi yang mengalami perubahan besar-besaran dalam aspek
ekonomi. Periode kekuasaan di Indonesia yaitu Orde Lama, Orde Baru dan
reformasi memiliki ciri khas masing-masing yang pada akhirnya juga membawa
dampak yang berbeda-beda bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Orientasi
pembangunan yang dimaksud adalah orientasi pembangunan keluar, yakni
pembangunan dengan melakukan stabilisasi ekonomi negeri dengan memanfaatkan
sumber luar negeri dan pembangunan berorientasi ke dalam, yang merupakan usaha
stablisasi ekonomi dengan memperkuat usaha-usaha dalam negeri (Mas’oed,
1989:95).
Orde
Lama dibawah pimpinan Soekarno bersikap anti batuan asing dan berorientasi ke
dalam. Soekarno menyatakan bahwa nilai kemerdekaan yang paling tinggi adalah
berdiri di atas kaki sendiri atau yang biasa disebut “berdikari” (Mas’oed,
1989:76). Soekarno tidak menghendaki adanya bantuan luar negeri dalam membangun
perekonomian Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia haruslah dilakukan oleh
Indonesia sendiri. Bahkan Soekarno melakukan kampanye Ganyang Malaysia yang
semakin memperkuat posisinya sebagai oposisi bantuan asing. Semangat
nasionalisme Soekarno menjadi pemicu sikapnya yang tidak menginginkan pihak
asing ikut campur dalam pembangungan ekonomi Indonesia. Padahal saat itu di
awal kemerdekaannya Indonesia membutuhkan pondasi yang kuat dalam pilar
ekonomi. Sikap Soekarno yang anti bantuan asing pada akhirnya membawa
konsekuensi tersendiri yaitu terjadinya kekacauan ekonomi di Indonesia.
Soekarno cenderung mengabaikan permasalahan mengenai ekonomi negara,
pengeluaran besar-besaran yang terjadi bukan ditujukan terhadap pembangunan,
melainkan untuk kebutuhan militer, proyek mercusuar, dan dana-dana politik
lainnya. Soekarno juga cenderung menutup Indonesia terhadap dunia luar terutama
negara-negara barat. Hal itu diperkeruh dengan terjadinya inflasi hingga 600%
per tahun pada 1966 yang pada akhirnya mengakibatkan kekacauan ekonomi bagi
Indonesia. Kepercayaan masyarakat pada era Orde Lama kemudian menurun karena
rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi.
Kemudian
fase baru dimulai dalam perkembangan Indonesia, yakni masa Orde Baru di bawah
pimpinan Soeharto. Di era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, slogan “Politik
sebagai Panglima” berubah menjadi “Ekonomi sebagai Panglima”. Karena pada masa
ini, pembangunan ekonomi merupakan keutamaan, buktinya, kebijakan-kebijakan
Soeharto berorientasi kepada pembangunan ekonomi. Kepemimpinan era Soeharto
juga berbanding terbalik dengan kepemimpinan era Soekarno. Jika kebijakan
Soekarno cenderung menutup diri dari negara-negara barat, Soeharto malah
berusaha menarik modal dari negara-negara barat itu. Perekonomian pada masa
Soeharto juga ditandai dengan adanya perbaikan di berbagai sector dan
pengiriman delegasi untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman dari negara-negara
barat dan juga IMF. Jenis bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan
harga-harga melalui “injeksi” bahan impor ke pasar. Orde Baru berpandangan
bahwa Indonesia memerlukan dukungan baik dari pemerintah negara kapitalis asing
maupun dari masyarakat bisnis internasional pada umumnya, yakni para banker dan
perusahaan-perusahaan multinasional (Mochtar 1989,67). Orde Baru cenderung
berorientasi keluar dalam membangun ekonomi. Langkah Soeharto dibagi menjadi
tiga tahap. Pertama, tahap penyelamatan yang bertujuan untuk mencegah agar
kemerosotan ekonomi tidak menjadi lebih buruk lagi. Kedua, stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur
ekonmi. Ketiga, pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia dengan negara lain
dipererat melalui berbagai kerjasama, Indonesia juga aktif dalam organisasi
internasional, terutama PBB, dan penyelesaian konflik dengan Malaysia. Awalnya
bantuan asing sulit diperoleh karena mereka telah dikecewakan oleh Soekarno,
namun dnegan berbagai usaha dan pendekatan yang dilakukan kucuran dana asing
tersebut akhirnya diterima Indonesia. Ekonomi Indonesia mulai bangkit bahkan
akhirnya menjadi begitu kuat.
Sayangnya
kekuatan ekonomi itu didapatkan dari bantuan asing yang suka atau tidak harus
dikembalikan. Suntikan bantuan dari Amerika Serikat maupun Jepang cukup
berperan besar dalam perbaikan ekonomi di Indonesia. Begitupun dengan IMF yang
dinilai sangat bermanfaat dalam memperjuangkan Indonesia di hadapan para
kreditor asing (Mas’oed, 1989:84). Namun, bantuan tersebut tidak serta merta
membuat Indonesia tumbuh dengan prestasi ekonomi, Indonesia ternyata semakin
terjerat keterpurukan perekonomian dalam negeri akibat syarat-syarat dan bunga
yang telah direncanakan negara penyuntik bantuan. Booth (1999) menjelaskan kegagalan
industri dalam negeri dipasar global serta terjun bebasnya nilai rupiah juga
menjadi warisan keterpurukan ekonomi pada Orde Baru yang berorientasi pada
pembangunan ekonomi keluar. Maka, kini hal tersebut menjadi tantangan
pemerintahan reformasi untuk menuntaskan permasalahan ekonomi dalam negeri.
Reformasi
ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dan diangkatnya BJ Habibie yang
saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden menjadi Presiden Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh tidak mampunya Soeharto mengalami permasalahan ekonomi serta
semakin mewabahnya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Trauma zaman Orde Baru
yang mengekang hak-hak demokrasi warga negara serta kediktatoran Soeharto
menyebabkan terjadinya perubahan menyeluruh dalam tiap aspek kehidupan. Naiknya
nilai tukar dollar secara tak tertahankan pada zaman Orde Baru, menyebabkan
naiknya berbagai kebutuhan pokok Indonesia. Namun, secara perlahan nilai tukar
dollar terhadap rupiah ini semakin menurun hingga saat ini. Selanjutnya yang
menjadi penting yakni orientasi ekonomi yang bagaimana, ke luar atau ke dalam,
yang kemudian dapat dianggap dan diharapkan efektif dan sesuai dengan kondisi
Indonesi saat ini. Orientasi ekonomi ke dalam pada zaman kepemimpinan Soekarno
yakni Orde Lama masih memiliki kekurangan. Begitu pula dengan era Orde Baru
dibawah kekuasaan Soeharto. Kekurangan-kekurangan tersebut yang akhirnya
memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi di
Indonesia. Dalam masa kini perkembangan ekonomi tentu saja lebih baik dari pada
dua era tersebut. Sebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu berpacu pada
orientasi ke luar atau ke dalam. Orientasi ekonomi di Indonesia harus lebih
fleksibel. Karena dengan hal tersebut maka ekonomi di Indonesia tidak hanya
berpusat di dalam negeri tanpa mau menerima bantuan asing, juga tidak hanya
berkonsentrasi pada bantuan asing tanpa memperhatikan kemampuan yang dimiliki
oleh Indonesia sendiri. Alangkah lebih baiknya jika orientasi ke dalam maupun
ke luar dapat seimbang, sehingga Indonesia yang tentu saja masih memiliki
kekurangan dapat menerima berbagai bantuan luar negeri secara wajar, yang
kemudian tidak lupa untuk memaksimalkan sumber-sumber yang ada di Indonesia
sendiri, baik itu SDA maupun SDM di Indonesia. Pemerintah juga harus dengan
bijaksana menentukan berbagai kebijakan mengenai bantuan maupun investor asing
yang akan membantu hingga menanamkan sahamnya di Indonesia. Sehingga Indonesia
tidak menjadi pihak yang dirugikan, serta berbagai bantuan yang datang dari
luar negeri maupun investor asing dapat dibatasi kewenangannya di Indonesia dan
mencegah investor asing untuk mendapatkan keuntungan dan eksploitasi yang
berlebihan terhadap Indonesia.
Prathama Raharja dan Mandala Manurung (2008), Teori
Ekonomi Makro : Suatu pengantar , edisi lima, Lembaga Penerbitan Ekonomi
Universitas Indonesia.