Selasa, 29 Maret 2016

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA

RAHMATIA KAMALA
         25215574


PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA
1.      1. MASALAH SDA STRUKTUR PENGUASAAN SDA
         Permasalahan pengelolaan sumberdaya alam menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi pada masa kini dan masa yang akan datang. Di lain pihak sumberdaya alam tersebut telah banyak mengalami kerusakan-kerusakan, terutama berkaitan dengan cara-cara eksploitasinya guna mencapai tujuan bisnis dan ekonomi. Dalam laporan PBB pada awal tahun 2000 umpamanya, telah diidentifikasi 5 jenis kerusakan ekosistem yang terancam mencapai limitnya, yaitu meliputi ekosistem kawasan pantai dan sumberdaya bahari, ekosistem lahan pertanian, ekosistem air tawar, ekosistem padang rumput dan ekosistem hutan. Kerusakan-kerusakan sumberdaya alam di dalam ekosistem-ekosistem tersebut terjadi terutama karena kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga mengalami kerusakan yang disebabkan karena terjadinya perubahan besar, yang mengarah kepada pembangunan ekonomi yang tidak berkelanjutan. Padahal sumberdaya tersebut merupakan pendukung utama bagi kehidupan manusia, dan karenanya menjadi sangat penting kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat manusia yang mengarah kepada kecenderungan pengurasan (depletion) dan degradasi (degradation). Kecenderungan ini baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya dan terjadi di hampir semua kawasan, baik terjadi di negara-negara maju maupun negara berkembang atau miskin.


2.      2. KEBIJAKAN SDA STRUKTUR PENGUASAAN SDA
Keputusan politik berupa TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001 yang menggariskan urgensi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebenarnya bukanlah kemajuan baru, meskipun secara substansial rumusan yang tertuang sangat signifikan. TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, sebagai produk Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, telah mencatat perubahan yang mendasar dalam merumuskan pijakan pembangunan nasional. GBHN 1999-2004 telah menuangkan Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (lihat Tabel 1). Namun, sejak GBHN tersebut dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional, belum terdapat kebijakan yang secara signifikan mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Apakah dengan begitu, TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001 akan mengalami nasib yang sama.
Tabel 1: Arah Kebijakan PSDA di GBHN 1999 – 2004 dan TAP MPR No. IX/MPR-RI/2001
Arah Kebijakan Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dalam GHBN 1999 – 2004
Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam  dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam :

1.    Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
2.    Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
3.    Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
4.    Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang-undang.
5.    Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.

1.      Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
2.      Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional.
3.      Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
4.      Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut.
5.      Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
6.      Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.


 
3.      3. DOMINASI SDA DI INDONESIA

Di Indonesia terdapat dua kategori badan usaha yaitu badan usaha milik negara dan badan usaha swasta. Kedua badan usaha tersbut sama-sama mengelola sumber daya alam Indonseia. Pada sektor hutan, Indonesia memiliki PT Perkebunan Nusantara dan 274 perusahaan pemegang HPH dengan arela seluas 20.899.673 ha. Sedangkan perusahaan kehutanan yang masuk dalam BUMN hanya tiga yaitu Perum Perhutani, PT Perkebunan Nusantara, dan PT Inhutani.
Pada sektor air, di Indonesia terdapat satu perusahaan yakni Perum Jasa Tirta yang salah satu bidang usahanya adalah menyediakan air baku, sedang perusaah air (air minum) di Indonesia terdapat 50 perusahaan air minum dalam kemasan. Pada sektor migas hanya terdapat satu perusaahaan negara yaitu Pertamina, sedang jumlah perusahaan migas swasta berjumlah 41. Aset pertamina hanya sekitar 22.244 barel pada tahun 2012, sedang aset perusahaan swasta mencapai 710.190 barel. Hampir seluruh sektor mineral batubara yang ada di Indonesia dikelola oleh badan usaha swasta, seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Newmont Minahasa Raya dan lain sebagainya.
Berdasarkan data-data di atas, maka dapatlah diketahui bahwasanya pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia lebih cenderung dilakukan oleh  badan usaha swasta daripada badan usaha milik negara. Sehingga tujuan pencapaian kemakmuran rakyat dari hasil pengelolaan sumberdaya alam agaknya sulit tercapai, sebab pengelolaan sumber daya alam di Indonesia telah didominasi oleh badan usaha swasta yang kontribusinya terhadap bangsa Indonesia bisa dikatakan hanya sebatas membayar pajak dan iuran bukan pajak.





SEJARAH EKONOMI INDONESIA

DIVA VIONA LEONITA
21215992
SEJARAH PRAKOLONIALISME

            Periode Prakolonialisme adalah masa-masa berdirinya kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara (sekitar abad ke-5) sampai sebelum masa masuknya penjajah yang secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politik di wilayah Nusantara (sekitar abad ke-15 sampai 17). Pada masa itu, RI belum berdiri. Daerah-daerah umumnya dipimpin oleh kerajaan-kerajaan.
            Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa, serta Samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Suriah Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui ke Laut Tengah, ada yang ke Laut Merah melalui Mesir, dan sampai juga ke Laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sebuah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
            Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
            Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banya berlangsung dalam sistem perdagangan internasional. Karenanya. Tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
            Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa prakolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun, dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perdagangan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia.
Dengan kata lain, sistem pemerintahan masih berbentuk feudal. Kegiatan utama perekonomian adalah:
·      Pertanian, umumnya monokultura, misalnya padi di Jawa dan rempah-rempah di Maluku.
·      Eksplorasi hasil alam, misalnya hasil laut, hasil tambang, dan lain-lain.
·      Perdagangan besar antarpulau dan antarbangsa yang sangat mengandalkan jalur laut.

Kerajaan-kerajaan besar yang pernah muncul dalam sejarah Indonesia di antaranya seperti Sriwijaya (abad ke-8), Majapahit (abad ke-13 sampai 15), maupun Banten (abad ke-17 sampai 18) merupakan kerajaan-kerajaan yang sangat menguasai tiga kegiatan ekonomi di atas.
Sumber:




SISTEM MONOPOLI VOC

A. Latar Belakang terjadinya Pergantian Kekuasaan
Bangsa Belanda datang ke Indonesia untuk berniaga. Mula-mula terdapat beberapa kongsi dagang yang menyediakan kapal-kapal, akan tetapi dalam tahun 1602 telah didirikan suatu Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yaitu gabungan kongsi-kongsi dagang yang berlayar ke Indonesia atau Kongsi Dagang India Timur. Tujuan pokoknya adalah mencari untung yang sebesar-besarnya.
Setelah berjalan lebih dari satu setengah abad, ternyata keuntungan yang diperoleh semakin kecil, kasnya semakin menipis, sedangkan anggaran belanja VOC semakin besar. Keadaan tersebut tidak semakin bertambah baik, tetapi justru semakin merosot. Itulah sebabnya VOC akhirnya membubarkan diri pada tanggal 31 Desember 1799. Adapun sebab-sebab jatuhnya VOC yaitu:
1.    Sistem monopoli VOC dengan akibat-akibat yang merugikan
Tujuan monopoli dagang ini adalah untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari perdagangan. Karena VOC merupakan sebuah persekutuan dagang yang terdiri dari para pedagang dan pemegang saham, maka mereka sama sekali tidak memperhatikan kehidupan atau membuat kebaikan terhadap orang-orang pribumi. Sistem perdagangan seperti itu melemahkan perdagangan dan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Akibat pemerintah Belanda tidak memperhatikan nasib rakyat jajahan, maka penduduk pribumi menjadi sangat miskin dan bodoh. Mereka tidak mampu membeli barang-barang produksi yang dijual oleh Belanda. Bahkan tidak jarang penduduk pribumi tidak mampu membeli beras dan bahan-bahan makanan lainnya yang akan dijual oleh Belanda.
Beberapa kebijaksanaan Belanda yang menyebabkan orang-orang Indonesia terus miskin:
·      Membeli murah, menjual mahal
Belanda selalu membeli hasil bumi orang-orang Indonesia dengan harga murah, sedangkan bahan-bahan makanan, kain, dan barang-barang lain dijual mahal kepada penduduk. Hal ini menyebabkan penduduk tanah jajahan terlalu miskin untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok itu. belanda menjalankan sistem pembelian dan penjualan ini dengan tujuan untuk memperoleh barang-barang yang lebih banyak dibanding barang-barang yang dijualanya.

·      Menjaga jumlah barang yang dimonopoli
Belanda terus berusaha menjaga barang-barang yang dimonopoli supaya harganya tidak merosot. Peraturan itu mereka jalankan agar permintaan pasar dan harga tetap seimbang. Jika permintaan tinggi, maka pengeluaran dilebihkan dengan syarat harganya tidak jatuh. Biasanya hasil yang berlebihan dikurangi dengan menebang dan memusnahkan pohon-pohon, membakar atau mengubur hasil-hasil yang berlebihan itu supaya harganya tetap tinggi. Misalnya, jika kopi atau lada sangat dibutuhkan di Eropa, maka orang-orang Indonesia dipaksa menanam lebih banyak pohon-pohon kopi dan lada. Tanaman-tanaman ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berbuah. Tetapi apabila sampai waktu bagi tanaman-tanaman ini berbuah, permintaan terhadapnya mungkin sudah jatuh. Jika hal itu terjadi dan gudang-gudangnya masih penuh, maka kopi dan lada yang berlebihan itu akan dimusnahkan untuk mempertahankan harganya di Eropa. Sementara itu harga yang dibayar kepada penanam-penanam di Indonesia dikurangkan pula. Orang-orang Belanda itu sendiri pun tidak banyak mendapat faedah dari kebijaksanaan monopolinya sebab mereka tidak dapat melakukan monopoli secara optimal. Pedagang-pedagang Arab dan Inggris membanjiri pasar-pasar di Indonesia dengan kain-kain yang jauh lebih murah daripada kain-kain Belanda. Hal ini menyebabkan harga barang-barang yang dijual Belanda menjadi sangat murah.

·      Kerja paksa, penyelundupan dan perompakan di laut
Monopoli Belanda juga menyebabkan terjadinya penyelundupan dan perompakan di laut. Kedua peristiwa itu sangat merugikan perdagangan Belanda. Keuntungan yang diperoleh dari penyelundupan itu sangat besar dibanding dengan bahaya yang dihadapi. Di sisi lain, angkatan laut Belanda tidak mungkin mengawasi seluruh perbatasan laut dalam waktu yang sama. Ini berarti bahwa angkatan laut Belanda tidak cukup untuk mengawal monopoli Belanda. Biasanya para penyelundup itu juga bertindak seperti bajak laut yang merompak kapal-kapal Belanda dan merampok kapal-kapal dagang Indonesia. Belanda kewalahan menghadapi masalah ini karena angkatan laut Belanda sangat terbatas.

·      Menjaga monopoli terhadap tanaman-tanaman
Belanda menjaga tanaman-tanaman agar hasilnya tidak melebihi permintaan pasar, terutama tanaman rempah-rempah di Maluku, gula dari Jawa, dan lada dari Aceh. Untuk menjaga tanaman rempah-rempah di Maluku, Belanda melakukan pelayaran Hongi, yaitu pelayaran bersenjata untuk memusnahkan tanaman rempah-rempah yang dianggap melanggar aturan.
Di samping biaya pengawasan yang mahal dan menimbulkan dendam dari penduduk yang dirusak tanamannya, Perancis dan Inggris menggalakkan penanaman pohon-pohon tersebut di tanah jajahan mereka. Kemudian Sri Lanka dan India sudah menghasilkan kayu manis dan bunga cengkih untuk orang-orang Inggris. Sedangkan tempat pengumpulan rempah-rempah Inggris di Bangkahulu dapat memperoleh rempah-rempah dari pedagang setempat. Dengan demikian VOC mengalami kerugian.

2.    Cara kerja yang tidak efektif dan efisien
Pada mulanya VOC itu dimaksudkan sebagai badan perdagangan. Ada bukti yang menunjukkan bahwa ketika VOC betul-betul menjalankan usaha perdagangan, VOC mendapat keuntungan yang secukupnya. Tetapi setelah VOC itu berubah menjadi badan pemerintah, maka anggaran pemerintahan atas seluruh wilayah kekuasaannya melebihi keuntungan yang diperoleh. Karena  susunannya tidak baik, maka timbullah  keburukan yang menyebabkan kerugian besar. Pegawai-pegawainya diangkat berdasarkan keinginan para pejabat VOC sehingga tidak berdasarkan profesinya.  Pegawai-pegawai tersebut hanya diberi gaji kecil dan diberi kesempatan untuk memperoleh tambahan gaji secara tidak resmi. Akibatnya, terjadilah perdagangan pribadi dari pegawai yang paling rendah sampai Gubernur Jenderal.  Sementara pegawai-pegawai dan pejabat-pejabat VOC memperoleh banyak penghasilan, namun tidak seperti rakyat jajahan. Bagi pejabat VOC, yang penting adalah bisa bersahabat dengan raja-raja setempat agar memperoleh monopoli perdagangan.
Dengan adanya perlawanan dan penaklukan daerah-daerah baru menyebabkan kas VOC semakin berkurang. Namun gaji yang rendah juga mendorong terjadinya korupsi besar-besaran sehingga keuntungan VOC semakin habis. Jadi, para pegawai VOC semakin memperkaya diri sementara keuntungan VOC hanya cukup untuk mempertahankan kongsi dagang tersebut.  
Ada beberapa cara bagi para pegawai VOC untuk memperkaya diri, yaitu:
a.    Karena jabatan-jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi dapat dibeli, maka pegawai-pegawai VOC itu dapat memegang dua jabatan atau lebih supaya gajinya lebih besar.
b.    Pegawai-pegawai VOC menjual barang-barang kepada VOC dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang dibayar kepada orang Indonesia.
c.    Mereka mencuri barang-barang dari gudang-gudang VOC dan membagi-bagikan barang-barang yang akan dikirim itu kepada sesama pegawai VOC.
d.    Sewaktu akan mengirim barang, timbangan-timbangan dilakukan secara tidak betul sehingga terjadi sisa barang yang kemudian dijadikan milik pribadi.
e.    Para pegawai itu berdagang barang-barang seperti beras dan candu yang telah ditetapkan oleh VOC sebagai barang-barang dagangan monopoli VOC.
f.     Mereka memungut sumbangan dari orang-orang Indonesia.
g.    Mereka menerima tips untuk pertolongan yang mereka berikan, walaupun sebenarnya itu tugas mereka.
h.    Mereka mempergunakan kemudahan-kemudahan VOC untuk menjalankan perdagangan pribadi.
i.      VOC mendapat bagian dari sisa-sisa yang telah dikorupsi oleh para pegawai. Pegawai-pegawai itu bersekongkol dengan orangorang Indonesia untuk mengelabui VOC.

3.    Saingan Perdagangan    
Mula-mula Belanda menghadapi persaingan Portugis dan Inggris. Perdagangan Portugis akhirnya dapat dilumpuhkan, sehingga tinggal berbentuk perdagangan perorangan dan tidak membahayakan lagi. Sedangkan Inggris yang pada awalnya dapat didesak, namun karena menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, maka akhirnya justru menjadi pesaing Belanda yang utama dari Eropa. Pedagang-pedagang Inggris dan pedagang-pedagang Asia dapat masuk ke kawasan-kawasan perdagangan VOC. Mereka menawarkan harga-harga barang yang lebih murah, sehingga membahayakan perdagangan Belanda. Karena itu Belanda berusaha keras agar Inggris tidak memiliki wilayah perdagangan di Indonesia, akibatnya baru tahun 1795 Inggris memperoleh kedudukan di pulau Penang.  Di samping Inggris, orang-orang Bugis dengan pusat perdagangannya di Riau juga menjadi saingan yang hebat terhadap perdagangan Belanda. Perselisihan-perselisihan politik yang disebabkan oleh keikutsertaaan Belanda di pihak Perancis dalam Perang  Kemerdekaan Amerika (1774-1783), mengakibatkan semakin terancamannya kedudukan Belanda di Indonesia oleh Inggris. Pertempuran-pertempuran laut antara gabungan Inggris-Belanda melawan Perancis dalam tahun 1780-1784 semakin memperberat beban keuangan yang ditanggung Belanda.

4.    Kemerosotan Perdagangan VOC    
Kemerosotan ini tentu saja disebabkan oleh persaingan dari pedagang-perdagang lain dan juga sebagai akibat dari keburukan sistem monopoli VOC. Clive Day berpendapat bahwa saingan perdagangan merupakan sebab utama kemerosotan perdagangan VOC dalam abad ke-18. Adapun sebab lain yang menyebabkan kemerosotan perdagangan VOC itu adalah sistem monopoli. Perdagangan VOC mulai merosot dengan hebatnya pada permulaan abad ke-18, yaitu sewaktu Belanda memperoleh kekuasaan yang semakin luas di Indonesia sehingga mengubah dirinya dari dagang ke politik. Apabila VOC tetap pada tujuan aslinya yaitu dagang (membeli dan menjual di pasar-pasar terbuka), maka uangnya tidak habis untuk membiayai pemerintahan dan peperangan.  Pada pertengahan abad ke-18, Belanda di Jawa hampir-hampir sudah gulung tikar, karena kehabisan kas. Untuk menghadapi bahaya kebangkrutan itu, Belanda meningkatkan usaha pengangkutan dan menggalakkan simpanan untuk meningkatkan modal agar mampu membiayai perdagangan internasional. Dengan demikian, uang mulai terkumpul kembali. 
Sistem pengangkutan dan simpanan ini didasarkan pada kenyataan bahwa Belanda ialah tuan bagi orang-orang Indonesia dan mereka memerlukan tanaman-tanaman tertentu untuk dijual di pasar-pasar lain. Dengan demikian rakyat dipaksa menjual hasil yang tertentu tiap-tiap tahun kepada Belanda. Hasil-hasil itu dibayar dengan harga yang rendah dan yang ditentukan oleh VOC. 
Rakyat Indonesia juga terpaksa membiarkan sebagian dari tanaman mereka tiap tahun sebagai upeti. Penyerahan paksa yang mereka namakan simpanan itu ditentukan besarnya. Sistem ini sangat menguntungkan VOC, tetapi mengundang kebencian rakyat. 
Sementara itu, barang-barang impor yang dimasukkan Belanda ke Indonesia, seperti kain, yang diharapkan akan terjual, ternyata rakyat tidak mampu membelinya lantaran daya beli yang sangat lemah. Akibatnya, perdagangan Belanda semakin kecil sementara kekuasaan politik mereka semakin bertambah besar.

5.    Besarnya biaya untuk menghadapi perlawanan-perlawanan rakyat
Pada waktu keuntungan semakin berkurang dan biaya pemerintahan semakin bertambah, VOC harus menghadapi perlawanan-perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia. Kondisi keuangan Belanda yang paling rendah terjadi pada pertengahan abad ke-18. Oleh karena itu, perlawanan Bugis di Riau tahun 1783-1784 hampir dapat mengusir Belanda dari kota Malaka. Kota Malaka dapat diselamatkan oleh pasukan van Braam yang tiba tepat pada waktunya.  Peperangan dengan Mataram, Banten, Makassar, bahkan juga campur tangan Belanda dalam perang perebutan tahta di Mataram sampai tiga kali, terutama perang melawan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, menelan banyak biaya. Beban keuangan itu semakin diperparah apabila perlawanan tersebut muncul bersamaan, seperti perang perebutan tahta di Jawa dan di Banten.

6.      Pembagian keuntungan yang mengecewakan terhadap pemegang saham 
Dalam membagikan keuntungan, kepada para pemegang saham dalam kongsi dagang Belanda itu berlangsung secara tidak transparan. Hal ini terpaksa dilakukan oleh VOC karena kongsi dagang itu berusaha untuk menyehatkan kembali keuangannya sehingga dapat melepaskan diri dari kebangkrutan.  Dalam pembagian keuntungan itu, kadang-kadang VOC memberikan keuntungan 50% dari modalnya pada saat kongsi itu tidak mendapat untung. Kebijakan itu menyebabkan para pemegang saham menyangka bahwa VOC adalah kongsi dagang yang menguntungkan bagi penanam modal.  Sewaktu perdagangan VOC mendapat sedikit keuntungan, para pemegang saham itu justru tidak diberi apa-apa. Akibatnya ketidaktransparanan itu mengundang penafsiran bahwa VOC menipu para pemegang saham. Ternyata dengan memberikan keuntungan yang besar pada saat VOC merugi dan akibatnya hutang VOC semakin besar.

7.      Perang Inggris-Belanda dan Perancis 1780-1784 
Permusuhan Inggris-Belanda dan Perancis dalam tahun 17801784 ternyata merupakan pukulan yang terakhir terhadap keuangan VOC. Perdagangan Belanda terhenti di semua kawasan akibat pengepungan Angkatan Laut Inggris yang sangat kuat, bahkan VOC terblokade. Sebagai akibat pula, maka dana yang dikeluarkan untuk menghadapi Inggris itu terlampau besar untuk ditanggung oleh kongsi dagang yang sedang pailit itu. 
Menurut Harrison, VOC tidak pernah pulih dari penderitaan perang tahun 1780-1784 itu. Dalam peperangan ini, pengiriman barangbarang dengan kapal-kapal pedagang Belanda tidak dapat lagi dilakukan karena hancurnya angkatan laut Belanda dalam pertempuran di Dogger Bank pada tahun 1781.
Sebab-sebab merosotnya dan jatuhnya VOC mengambil waktu yang lama. Benih kemerosotan itu mengambil waktu 100 tahun untuk akhirnya meruntuhkan  kekuasaan imperium perdagangan Belanda. Kritikan-kritikan yang hebat terhadap pelaksanaan monopoli itu baru mulai timbul dalam tahun 1774. Tetapi oleh karena tidak ada jalan lain lagi untuk memperoleh penghasilan yang tetap, maka sistem monopoli itu terus dilanjutkan. 
Bertolak dari sistem yang dijalankan itu, maka para pakar berpendapat bahwa Belanda dengan VOC-nya bukan penjajah yang kejam tetapi loba dan tamak. Keruntuhan VOC terus berproses akibat buruknya pemerintahan dan perdagangan VOC akibat saingan dari lawan-lawannya. Namun menurut  J.F. Cady,  sebab utama keruntuhan VOC itu adalah kemerosotan atau penurunan taraf kerja pegawaipegawainya.
Sementara itu pakar sejarah Asia Tenggara yang lain banyak yang berpendapat bahwa sebab-sebab jatuhnya VOC yang utama karena VOC gagal memperoleh keuntungan yang cukup  untuk membiayai perluasan wilayah. Hal ini bisa kita runut dari pendapat Harrison yang menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh tidak pernah melebihi biaya yang dikeluarkan. Beberapa sebab yang menyebabkan kongsi dagang Belanda itu mengalami kebangkrutan memang saling kait-mengkait. Jika dicoba untuk dicari sebab utama kejatuhan VOC itu, maka banyak persoalan baru yang muncul, ibarat menjawab pertanyaan: mana yang lebih dulu ada, telur atau ayam? 
Jatuhnya VOC itu juga menyebabkan penderitaan bagi para penanam tanaman ekspor di Indonesia. Sebab dengan jatuhnya VOC itu maka berubah pula sistem politik dan  ekonomi di Indonesia. Para penghasil tanaman ekspor harus mengikuti perubahan-perubahan harga yang cenderung merosot. Keadaan ini menimbulkan kemerosotan ekonomi yang hebat di kemudian hari. 
Sesungguhnya pada pertengahan abad ke-18 Gubernur Jenderal Gustaaf van Imholf melakukan usaha-usaha untuk mencegah kemerosotan ekonomi itu. Ia mengusulkan agar perdagangan dalam negeri dan perdagangan Asia dibuka untuk pedagang-pedagang perorangan dengan Batavia sebagai pusatnya. VOC itu bisa mendapatkan uang dengan memungut cukai terhadap kapal dagang dan barang-barang yang dibawa ke situ. Di samping itu, pada tahun 1745 didirikan Persatuan Candu guna mencegah penyelundupan candu, kemudian juga dilakukan perluasan perladangan di kawasan tanah tinggi Betawi guna menolong peladang sekaligus menambah masukan bagi VOC.
Dalam perkembangannya, rencana van Imholf tersebut gagal karena meletusnya perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said (1749-1757), serta Perang Banten. Setelah perang selesai, tahun 1757 Belanda melanjutkan usahanya lagi, yaitu dengan membina hubungan yang baik dengan raja-raja agar bisa kerjasama dengan mereka. Penanaman kopi dan tebu digalakkan, kemudahan-kemudahan pengangkutan dimajukan, dan pegawai-pegawai VOC dinaikkan gajinya. Tetapi hutangnya bertambah karena VOC membayar keuntungan yang tinggi sedangkan kongsi itu tidak mampu berbuat begitu, sementara  beberapa peperangan dengan raja-raja semakin menguras keuangannya. 
Peperangan-peperangan Napoleon di Eropa mengakibatkan perubahan pemerintahan di Nederland. Pada saat itu ternyata VOC sudah tidak dapat lagi melunasi hutangnya dan sedang porak-poranda pula. Hutangnya berjumlah 134 juta gulden. Akibatnya pada tanggal 31 Desember 1799 VOC pun dibubarkan. Kekuasaan terhadap semua tanah jajahannya diambilalih oleh Kerajaan Belanda. 
Setelah VOC bubar, Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda ( Republik Bataaf). Pegawai-pegawai VOC menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda tersebut. Hutang VOC juga menjadi tanggungan pemerintah Belanda. Dengan demikian sejak 1 Januari 1800 Indonesia dijajah langsung oleh negeri Belanda. Sejak saat itu Indonesia disebut Hindia Belanda.
Sumber:




SISTEM TANAM PAKSA

A. Proses pelaksanaan cultuurstelsel di Jawa
Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa yang tertera dalam Stadsblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22 beberapa tahun setelah tanam paksa mulai dijalankan di Pulau Jawa, berbunyi sebagai berikut:
1.    Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual dipasar Eropa.
2.    Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3.    Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4.    Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5.    Tanaman dagangan yang dihasilkan ditanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6.    Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
7.    Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Menurut ketentuan dalam Lembaran Negara tahn 1834 No. 22, setiap persetujuan yang diadakan pemerintah Hindia Belanda dengan rakyat mengenai pemakaian sebagian tanah pertanian mereka untuk penanaman tanaman dagangan harus didasarkan atas kerelaan dari pihak rakyat tanpa didorong oleh unsur paksaan atau unsur ketakutan. Akan tetapi, dalam kenyataannya ternyata seluruh pelaksanaan sistem tanam paksa di dasarkan atas unsur paksaan. Jelaslah kiranya bahwasannya dalam hal ini pemerintah kolonial menyalahgunakan kekuasaan tradisional dari para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar mereka menyerahkan sebagian tanah mereka untuk tujuan sistem tanam paksa.
Tanah yang dipergunakan untuk kepentigan tanam paksa sebenarnya tidak pernah mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipun areal yang digunakan relatif terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh karakter sistem administrasi kolonial.

o  Penanaman Tebu 
Penanaman tebu lebih dominan dilakukan di daerah-daerah pantai utara Jawa yang baik, seperti di Karesidenan Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Surabaya dan Pasuruan. Ini dikarenakan dalam menanam tebu diperlukan tanah persawahan yang baik, karena tanaman tebu memerlukan irigasi yang baik.
Pelaksaan tanaman tebu di berbagai daerah tersebut berbeda-beda, tetapi tetap dengan patokan-patokan yang diterapkan oleh Batavia. Ini berarti bahwa petani-petani di Jawa diatur oleh pemerintah untuk menanami beberapa persen dari tanah mereka denngan tebu. Mereka lalu wajib menyetor panen tebu ke penggilingan di wilayah mereka, dengan imbalan yang bergantung pada jumlah dan mutu panen yang disetor. Pabrik penggilingan tebu tersebut kemudian menjadi hasil panen dalam bentuk gula kepada perusahaan dagang pemerintah yaitu Nederladsche Handel Maatschappij. Perusahaan ini bertanggung jawab atas pengiriman gula ke negeri Belanda untuk di lelang.
Menjelang tahun 1940-an industri gula sudah mulai terpusat di wilayah-wilayah yang kelak menjadi pusat industri gula pada abad selanjutnya. Industri gula inilah yang banyak menyedot tenaga kerja dari rakyat karena persentase lahan yang ditanami tebu sering melampaui jumlah maksimun yang diizinkan. Pemberian upah kepada para petani tidak selalu sejajar dengan panen karena terjadi korupsi dari para pegawainya. Para petani dan pekerja Jawa mendapt sekedar imbalan untuk kerja keras dalam menghasilkan dan mengangkat tebu ke pabrik-pabrik.

o  Penanaman Indigo
Tanaman indigo merupakan salah satu tanaman yang menggunakan sistem rotasi dengan tanaman utama yaitu padi. Sebelum dimulai penanaman, para petani harus membongkar jaringan pematang dan saluran yang lazimnya digunakan untuk penanaman padi setelah panen tanaman ekspor. Untuk tanaman indigo, harus digarap oleh beberapa desa secara bersamasama.
Dalam penanaman indigo para petani tidak hanya diwajibkan tanaman dan merawat tanaman, tetapi juga wajib mengambil hasil panen (3-4 kali setahun), mengangkut daun nila ke pabrik kemudian mengerjakan pengolahan nila dalam proses tidak sedap hingga menghasilkan lempengan bahan pewarna indigo. Pemberian upah didasarkan pada banyaknya bahan pewarna yang dihasilkan dari nila yang diserahkan para petani.

o  Penanaman kopi
Kopi merupakan barang dagangan yang sangat menguntungkan dari sistem tanam paksa. Berbeda dengan tebu, kopi biasanya tidak ditanam pada lahan pertanian biasa, melainkan digabung dengan tanaman bahan makanan. Tetapi karena kebijakan dari pemerintah Belanda tersebut, petani seringkali harus menempuh jarak agak jauh untuk menanam kopi, merawatnya, dan memanen kopi. Pengolahan biji kopi ini hanya mencakup penjemuran dan pembersihan biji-biji kopi setelah dipetik, yang dilakukan oleh para petani.
Kopi merupakan tanaman ekspor utama di pulau Jawa. Nilai ekspor kopi dibawah sistem tanam paksa jauh lebih tinggi yang mencapai 80% keuntungan dibandingkan nilai ekspor gula.

B.  Proses pelaksanaan culturstelsel di luar Jawa
Selain di Jawa, Culturstelsel juga dijalankan diluar pulau Jawa meskipun dalam skala yang tidak sebanding dengan di pulau Jawa. Sejak tahun 1822 di Minahasa telah dilaksanakan Culturstelsel untuk menanam kopi. Sementara di Sumatera Barat pada tahun 1847 pasca Perang Padri, juga diselenggarakan Culturstelsel untuk tanaman kopi, sedangkan di Madura juga dijalankan Culturstelsel untuk tanaman tembakau. Disamping itu di Maluku juga sistem ini dijalankan bahkan sejak masa VOC, yakni untuk tanaman cengkeh di kepulauan Ambon dan Pala di kepulauan Banda. Sistem tanam paksa di kepulauan Maluku ini baru dihapuskan pada tahun 1860. Dengan demikian, meskipun secara umum dikatakan bahwa sistem tanam paksa berlangsung dari tahun 1830-1870, tetapi dalam praktek yang sesungguhnya bahwa sistem tersebut telah berlangsung jauh sebelum tahun 1830 dan berakhir secara total pada awal abad ke-20.
Untuk pembudidayaan kopi, lahan-lahan yang dimanfaatkan adalah tanah kalekeran, yaitu suatu tanah milik distrik yang kosong dan tidak digarap oleh penduduk karena letaknya yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Dalam hal lain upah yang diberikan juga tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka. Setiap pikol pemerintah Belanda hanya membayar £10, padahal setiap keluarga hanya dapat menghasilkan satu pikol belum lagi dengan adanya kecurangan-kecurangan yang dijalankan oleh para petugas lapangan dalam mennimbang kopi. Dalam hal lain, penduduk juga dibebani oleh biaya pengangkutan, dimana pengangkutan kopi ke gudang-gudang pemerintah yang berada di wilayah pantai cukup jauh, padahal mereka harus dengan memikulnya. Baru sejak tahun 1851 pemerintah membuka gudang-gudang di daerah pegunungan, sehingga pekerjaan penduduk menjadi lebih ringan. Sedangkan pengangkutan dari gudang-gudang pegu-nungan ke gudang-gudang di daerah pantai dilakukan oleh para pekerja yang diberi upah. Semenjak tahun 1820 hingga tahun 1840, di Minangkabau kopi telah di budidaya secara perorangan sebelum diberlakukannya Culturstelsel. Sebagaimana halnya di Minahasa, di Minangkabau juga penanaman kopi dilakukan di daerah-daerah pegunungan. Lahan-lahan yang dipakai juga dalam kategori lahan tidur yang kurang produktif untuk pertanian lain. Karena sebagian besar kopi ditanam di daerah-daerah pegunungan terutama lahan-lahan yang berada dalam kawasan hutan, maka kopi Minangkabau lebih sering dikenal sebagai “kopi hutan”. Seperti halnya di Minahasa, di Minangkabau juga penduduk di bebani dengan kerja tanpa upah untuk membangun sarana-sarana terutama jalan-jalan dan jembatan untuk keperluan pengangkutan kopi dari daerah pegunungan ke Padang. Sementara para pemimpin tradisional yang bertugas menggerakkan penduduk adalah para penghulu, sehingga dengan ikatan tradisioanal tersebut penduduk patuh pada atasannya.

Sistem tanam paksa di Sumatera Barat mengalami kesuksesan yang cukup besar karena beberapa faktor diantaranya adalah:
a.    Harga kopi yang tetapkan yaitu sekitar £7 per pikul sehingga membantu meningkatkan produksi kopi pada awal tahun-tahun pelaksanaan sistem tanam paksa.
b.    Tersedianya tenaga kerja yang cukup banyak yang dapat dikerahkan untuk keperluan penerapan budidaya tanam kopi tersebut.
c.    Adanya tradisi dagang yang telah tertanam dan menjiwai masyarakat Mnangkabau yang menyebabkan orang terdorong untuk menjalankan pekerjaan yang menghasilkan uang.

Pada tahun 1864, pelaksanaan sistem tanam paksa mencapai puncaknya yaitu meningkat dari 58.000 pikul (3,5 juta kg) sampai 173.000 pikul (10,5 juta kg) setahun. Tapi dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini produksi kopi menurun drastis dan pemerintah tidak mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
o  Berkurangnya lahan pertanian yang cocok untuk ditanami tanaman kopi.
o  Munculnya penyakit daun yang menghinggapi pohon-pohon kopi sehingga menyebabkan gagal panen.
o  Perang Aceh yang berlangsung relatif lama sehingga banyak menguras perhatian pemerintah Belanda untuk menanganinya, sementara budidaya kopi menjadi kurang diperhatikan.
o  Cara-cara pengelolaan yang kurang baik karena terbiasa dengan pola budidaya perseorangan yang telah berlangsung sebelum sistem tanam paksa diterapkan.

C.  Dampak cultuurstelsel bagi rakyat
Jika kita melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van Den Bosch, maka pihak Belandalah yang mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup. Namun dari sekian banyak dampak negatif, masih terdapat dampak positif yang dirasakan oleh bangsa Indonesia.

Dampak negatif dari pelaksanaan tanam paksa:
Ø Waktu yang dibutuhkan dalam penggarapan budidaya tanaman ekspor seringkali mengganggu kegiatan penanaman padi. Persiapan lahan untuk tanaman kopi biasanya berbenturan dengan penanaman padi.
Ø Penggarapan tanaman ekspor seperti tebu membutuhkan air yang sangat besar sehingga memberatkan petani.
Ø Budidaya tebu dan nila menggunakan sebagian besar tanah sawah petani yang baik dan bernilai paling tinggi.
Ø Pelaksanaan sistem tanam paksa ini melipatgandakan kebutuhan akan hewan terak petani, tidak hanya untuk pekerjaan di ladang tetapi juga sebagai alat angkut hasil tanaman ekspor menuju pabrik atau pelabuhan.
Ø Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843). Demak (1849), dan Grobongan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) dimana-mana.

Dampak positif dari pelaksanaan sistem tanam paksa:
a.    Rakyat Indonesia mengenal berbagai teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
b.    Meningkatkan jumlah uang yang beredar di pedesaan, sehingga memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perdagangan.
c.    Munculnya tenaga kerja yang ahli dalam kegiatan non pertanian yang terkait dengan perkebunan dan pepabrikan di pedesaan.
d.    Penyempurnaan fasilitas yang digunakan dalam proses tanam paksa, seperti jalan, jembatan, penyempurnaan fasilitas pelabuhan dan pabrik dan gudang  untuk hasil budidayanya.

Terdapat dampak lain yaitu para pemilik sawah harus menyerahkan sebagian dari sawah-sawahnya untuk menanam tebu menurut suatu skema rotasi tertentu dengan penanaman padi. Selain itu penduduk desa juga diharuskan melakukan pekerjaan wajib seperti menanam, memotong, mengangkat tebu ke pabrik-pabrik gula. Pekerjaan-pekerjaan wajib ini merupakan beban berat dari penduduk desa. Kadang-kadang seluruh penduduk desa dikerahkan bekerja untuk kepentingan pemerinah kolonial maupun untuk kepentingan pejabat-pejabat dan kepalakepala sendiri. Hal yang terakhir ini dilakukan dalam bentuk kerja rodi, baik untuk pemerintahan kolonial maupun untuk kepala-kepala melakukan pekerjaan wajib, seperti menanam, memotong, dan mengangkut dan bekerja di pabrik-pabrik itu sendiri.
Sumber:


SISTEM EKONOMI KAPITALIS LIBERAL

            Sistem ekonomi kapitalis atau disebut juga sistem ekonomi liberal adalah suatu sistem ekonomi yang kehidupan ekonomi masyarakatnya sangat dipengaruhi atau dikuasai oleh pemilik-pemilik kapital (modal). Sistem ini mula-mula berkembang di Inggris pada pertengahan abad ke-18, setelah Adam Smith yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Ekonomi menerbitkan buku “The Wealth of Nations”.
            Adam Smith mempunyai pandangan bahwa kepentingan pribadi merupakan kekuatan pengendali kehidupan ekonomi yang akan berjalan ke arah kemakmuran bangsa. Jika setiap orang diberi kebebasan, semuanya akan berusaha untuk mencapai kemakmuran bagi dirinya sendiri. Tidak akan ada orang menghendaki kemiskinan atau kesengsaraan bagi dirinya sendiri. Dengan demikian jika setiap individu sudah makmur, maka seluruh rakyat akan makmur, sebab masyarakat tidak lain merupakan kumpulan individu.
            Kebebasan yang dimaksudkan Adam Smith, antara lain mencakup kebebasan menjalankan usaha, kebebasan memiliki alat-alat produksi, kebebasan menetapkan harga, kebebasan untuk mengadakan persaingan, dan kebebasan mengadakan perundingan. Dengan adanya kebebasan ini diharapkan adanya dorongan bagi setiap individu untuk bekerja lebih giat, berlomba ke arah kemajuan ekonomi, sehingga kemakmuran dapat ditingkatkan.
            Semboyan kaum liberal adalah “laissez faire” artinya biarkanlah. Semboyan ini mempunyai makna “biarkanlah mereka melakukan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka, biarkanlah produksi dan harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar bebas, tanpa adanya campur tangan pemerintah”. Tugas pemerintah adalah menjaga keamanan, menegakkan hukum, dan menyelenggarakan pekerjaan umum.

Ciri-ciri sistem ekonomi kapitalis (liberal)
1.    Pemilikkan alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, mesin-mesin oleh pihak swasta baik perseorangan maupun perusahaan; Setiap orang memiliki kebebasan memiliki alat-alat produksi.
2.    Adanya kebebasan berusaha dan bersaing; Setiap orang bebas memilih lapangan pekerjaannya (mendirikan perusahaan) dan bebas bersaing dengan cara apapun. Produksi dilaksanakan oleh para pengusaha swasta atas prakarsa dan tanggung jawabnya sendiri.
3.    Para produsen bebas menentukan apa dan berapa yang akan diproduksi, didorong oleh motif mencari keuntungan sebesar-besarnya.
4.    Harga-harga dibentuk di pasar bebas yang ditentukan oleh pertemuan antara permintaan dan penawaran.
5.    Campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi tidak dibenarkan.

Dalam kenyataannya kebebasan yang dikehendaki oleh kaum kapitalis, selain telah membawa kemajuan ekonomi yang pesat (industri dan perdagangan), juga telah mengakibatkan kesengsaraan bagi banyak orang. Sistem ekonomi ini ternyata memiliki keburukan-keburukan:
v Konsentrasi (pemusatan) kekuasaan ekonomi pada kelompok tertentu, sehingga muncul bentuk monopoli. Tidak selalu mekanisme pasar itu merupakan suatu sistem pasar persaingan sempurna, di mana harga ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Dalam kenyataannya satu atau beberapa perusahaan raksasa menguasai pasar. Mereka memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan harga dan menentukan jumlah barang yang ditawarkan. Mereka selalu membatasi produksi pada tingkat di mana mereka akan memperoleh keuntungan maksimum.
v Ketimpangan dan ketidakmerataan dalam pembagian pendapatan, sehingga memperlebar jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Kebebasan yang tidak ada batasnya dalam kegiatan ekonomi merugikan golongan yang lemah, sebab mereka akan kalah bersaing. Perusahaan besar bersaing dengan perusahaan kecil, sehingga akhirnya menimbulkan semacam “kanibalisme”. Kekayaan makin bertambah pada golongan yang kuat, sedangkan golongan yang lemah akan jatuh miskin, yaitu para pengusaha kecil dan kaum buruh.
v Kehidupan ekonomi sering tidak stabil, adanya gelombang konjungtur. Mekanisme pasar bebas menyebabkan perekonomian selalu mengalami kemakmuran yang tinggi, tetapi pada masa berikutnya akan mengalami kemerosotan yang luar biasa. Para pengusaha dapat memperoleh keuntungan yang banyak secara mendadak di suatu saat, dan mengalami kehancuran pada masa berikutnya. Demikian pula inflasi dapat tiba-tiba muncul, dan pengangguran yang tinggi dapat muncul pada masa berikutnya. Ketidakstabilan ekonomi seperti ini sangat merugikan masyarakat banyak.

Di samping keburukannya, terdapat kelebihan-kelebihan sistem ekonomi kapitalis (liberal), yaitu:
o  Kualitas barang terjamin, karena setiap individu berusaha untuk menghasilkan barang dengan kualitas yang baik agar dapat bersaing.
o  Kualitas pelayanan terjamin, karena kualitas pelayanan merupakan bagian dari persaingan.
o  Adanya persaingan mendorong masing-masing individu berusaha untuk maju dan bertindak secara efisien.
o  Tiap-tiap orang bebas memilih pekerjaan yang mereka sukai sesuai dengan bakatnya.
o  Produksi didasarkan atas kebutuhan masyarakat.

Sumber :





ERA KEDUDUKAN JEPANG

A. Masuknya Jepang ke Indonesia
Jepang dengan mudah menguasai daerah-daerah Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, karena:
1.    Jepang telah berhasil menghancurkan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii pada tanggal 7 Desember 1941
2.    Negeri-negeri induk (Inggris, Perancis, dan Belanda) sedang menghadapi peperangan di Eropa melawan Jerman
3.    Bangsa-bangsa di Asia sangat percaya dengan semboyan Jepang (Jepang pemimpin Asia, Jepang cahaya Asia, dan Jepang pelindung Asia) sehingga tidak memberi perlawanan. Bahkan, kehadiran Balatentara Jepang disambut dengan suka cita karena Jepang dianggap sebagai ‘saudara tua’ yang akan membebaskan bangsa-bangsa Asia dari belenggu penjajahan negara-negara Barat.

Secara resmi Jepang telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942, ketika Panglima Tertinggi Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Bandung, Jepang tanpa banyak menemui perlawanan yang berarti berhasil menduduki Indonesia. Bahkan, bangsa Indonesia menyambut kedatangan balatentara Jepang dengan perasaan senang, perasaan gembira karena akan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.
Sebenarnya, semboyan Gerakan 3A dan pengakuan sebagai ‘saudara tua’ yang disampaikan Jepang merupakan tipu muslihat agar bangsa Indonesia dapat menerima kedatangan Balatentara Jepang. Pada awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan hangat oleh bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan negara imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis baru, seperti Jerman dan Italia. Sebagai negara imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan pasar bagi barang-barang industrinya. Oleh karena itu, daerah jajahan menjadi sangat penting artinya bagi kemajuan industri Jepang. Apalah arti kemajuan industri apabila tidak didukung dengan bahan mentah (baku) yang cukup dengan harga yang murah dan pasar barang hasil industri yang luas. 
Dengan demikian, jelas bahwa tujuan kedatangan Balatentara Jepang ke Indonesia adalah untuk menanamkan kekuasaannya, untuk menjajah Indonesia. Artinya, semboyan Gerakan 3A dan pengakuan sebagai ‘saudara tua’ merupakan semboyan yang penuh kepalsuan. Hal itu dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan yang terjadi selama pendudukan Balatentara Jepang di Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan Jepang lebih kejam sehingga bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan. Sumber-sumber ekonomi dikontrol secara ketat oleh pasukan Jepang untuk kepentingan peperangan dan industri Jepang, melalui berbagai cara berikut:
a.    Tidak sedikit para pemuda yang ditangkap dan dijadikan romusha. Romusha adalah tenaga kerja paksa yang diambil dari para pemuda dan petani untuk bekerja paksa pada proyek-proyek yang dikembangkan pemerintah pendudukan Jepang. Banyak rakyat kita yang meninggal ketika menjalankan romusha, karena umumnya mereka menderita kelaparan dan berbagai  penyakit.
b.    Para petani diawasi secara ketat dan hasil-hasil pertanian harus diserahkan kepada pemerintah Balatentara Jepang.
c.    Hewan peliharaan penduduk dirampas secara paksa untuk dipotong guna memenuhi kebutuhan konsumsi perang.

B.  Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang
Setelah menduduki Indonesia Jepang mengambil berbagai kerbijakan. Kebijakan Pemerintah Balatentara Jepang, meliputi berbagai bidang, diantaranya:
·      Bidang Ekonomi
a.    Perluasan areal persawahan
b.    Pengawasan pertanian dan perkebunan
Pelaksanaan pertanian diawasi secara ketat dengan tujuan untuk mengendalikan harga barang, terutama beras. Hasil pertanian diatur sebagai berikut: 40% untuk petani, 30% harus dijual kepada pemerintah Jepang dengan harga yang sangat murah, dan 30% harus diserahkan ke ‘lumbung desa’. Ketentuan itu sangat merugikan petani dan yang berani melakukan pelanggaran akan dihukum berat. Badan yang menangani masalah pelanggaran disebut Kempetai (Korps Polisi Militer), suatu badan yang sangat ditakuti rakyat.
Pengawasan terhadap produksi perkebunan dilakukan secara ketat. Jepang hanya mengizinkan dua jenis tanaman perkebunan, yaitu karet dan kina. Kedua jenis tanaman itu berhubungan langsung dengan kepentingan perang. Sedangkan tembakau, teh, kopi harus dihentikan penanamannya karena hanya berhubungan dengan kenikmatan. Padahal, ketiga jenis tanaman itu sangat laku di pasaran dunia. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi sangat merugikan rakyat. 
Pengerahan sumber daya ekonomi untuk kepentingan perang. Untuk menguasai hasil-hasil pertanian dan kekayaan penduduk, Jepang selalu berdalih bahwa untuk kepentingan perang. Setiap penduduk harus menyerahkan kekayaannya kepada pemerintah Jepang. Rakyat harus menyerahkan barang-barang berharga (emas dan berlian), hewan, bahan makanan kepada pemerintah Jepang. Untuk memperlancar usaha usahanya, Jepang membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa) dan Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian). 
Kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi telah mengakibatkan kehidupan rakyat Indonesia semakin sengsara dan penuh penderitaan. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia selama pendudukan Jepang lebih buruk apabila dibandingkan dengan penderitaan dan kesengsaraan pada masa penjajahan Belanda. Padahal, Jepang menduduki Indonesia hanya tiga setengah tahun, sedangkan Belanda menjajah Indonesia selama tiga setengah abad.

·      Bidang Pemerintahan
Pada dasarnya pemerintahan pendudukan Jepang adalah pemerintahan militer yang sangat diktator. Untuk mengendalikan keadaan, pemerintahan dibagi menjadi beberapa bagian. Jawa dan Madura diperintah oleh Tentara ke 16 dengan pusatnya di Jakarta (dulu Batavia). Sumatera diperintah oleh Tentara ke 25 dengan pusatnya di Bukittinggi (Sumbar). Sedangkan Indonesia bagian Timur diperintah oleh Tentara ke 2 (Angkatan Laut) dengan pusatnya di Makasar (Sulsel). Pemerintahan Angkatan Darat  disebut Gunseibu, dan pemerintahan Angkatan Laut disebut Minseibu. 
Masing-masing daerah dibagi menjadi beberapa wilayah yang lebih kecil. Pada awalnya, Jawa dibagi menjadi tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) serta dua daerah istimewa, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Pembagian ini diang-gap tidak efektif sehingga dihapuskan. Akhirnya, Jawa dibagi menjadi 17 Karesidenan (Syu) dan diperintah oleh seorang Residen (Syucokan). Keresidenan terdiri dari kotapraja (Syi), kabupaten (Ken), kawedanan atau distrik (Gun), kecamatan (Son), dan desa (Ku). 
Sumatera dibagi menjadi 10 karesidenan dan beberap sub-karesidenan (Bunsyu), distrik, dan kecamatan. Sedangkan daerah Indonesia Timur yang dikuasai Angkatan Laut Jepang dibagi menjadi tiga daerah kekuasaan, yaitu: Kalimantan, Sulawesi, dan Seram (Maluku dan Papua). Masing-masing daerah itu dibagi menjadi beberapa karesidenan, kabupaten, sub-kabupaten (Bunken), distrik, dan kecamatan. 
Pembagian daerah seperti di atas dimaksudkan agar semua daerah dapat diawasi dan dikendalikan untuk kepentingan pemerintah balatentara Jepang. Namun, untuk menjalankan pemerintahan yang efektif dibutuhkan jumlah personil (pegawai) yang banyak jumlahnya. Sedangkan jumlah orang Jepang yang ada di Indonesia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tenaga dalam bidang pemerintahan. Untuk mengawai dan menjalankan pemerintahan secara efektif merupakan tantangan yang berat karena terbatasnya jumlah pegawai atau orang-orang yang dapat dipercaya untuk memegang jabatan penting dalam pemerintahan.

Untuk mengatasi kekurangan jumlah pegawai, pemerintah Jepang dapat menempuh beberapa pilihan, di antaranya:
o  Memanfaatkan orang-orang Belanda yang masih ada di Indonesia. Pilihan ini sangat tidak mungkin karena Jepang sedang menanamkan sikap anti Belanda di kalangan pen-duduk Indonesia.
o  Menggunakan tenaga Timur Asing (Cina). Pilihan ini juga sangat berat karena Cina dianggap sebagai lawan politik Jepang yang paling berbahaya untuk mewujudkan cita-cita Jepang, yaitu membangun Asia Timur Raya.
o  Memanfaatkan penduduk Indonesia. Pilihan ini dianggap yang paling realistik karena sesuai dengan semboyan ‘Jepang sebagai saudara tua’ yang ingin membebaskan suadara mudanya dari belenggu penjajahan bangsa Eropa. Di samping itu, pemakaian bangsa Indonesia sebagai dalih agar bangsa Indonesia benar-benar bersedia membantu untuk memenangkan perang yang sedang dilakukan Jepang.

Sebenarnya, pilihan-pilihan di atas sama-sama tidak menguntungkan. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan (bahkan terpaksa) Jepang memilih penduduk Indonesia untuk membantu menjalankan roda pemerintahan. Jepang pun dengan berat harus menyerahkan beberapa jabatan kepada orang Indonesia. Misalnya, Departemen Urusan Agama dipimpin oleh Prof. Husein Djajadiningrat, serta Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A. Surio sebagai Residen Jakarta dan Residen Bojonegoro. Di samping itu, beberapa tokoh nasional yang mendapat kepercayaan untuk ikut menjalankan roda pemerintahan adalah Ir. Soekarno, Mr. Suwandi, dr. Abdul Rasyid, Prof. Dr. Supomo, Mochtar bin Prabu Mangkunegoro, Mr. Muh, Yamin, Prawoto Sumodilogo, dan sebagainya. Bahkan, kesempatan untuk duduk dalam Badan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), semacam Volksraad pada zaman Belanda semakin terbuka. 
Kesempatan untuk menduduki beberapa jabatan dalam pemerintahan Jepang dan menjalankan roda pemerintahan merupa-kan pengalaman yang berharga bagi bangsa Indonesia, terutama setelah Indonesia merdeka. Sebagai bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia harus mampu menjalankan pemerintahan secara baik. Oleh karena itu, pengalaman pada masa pemerin-tahan Jepang merupakan modal yang sangat berguna karena bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk mengelola orga-nisasi besar seperti negara.

·      Bidang Militer
Sejak awal pendudukannya, Jepang selalu berusaha menarik hati bangsa Indonesia agar bersedia membantu pemerintah Jepang dalam usaha untuk memenangkan peperangan melawan Sekutu. Bangsa Indonesia hampir selalu dilibatkan dalam berbagai organisasi militer maupun organisasi semi militer.

Beberapa organisasi militer yang dibentuk pemerintah Jepang, diantaranya:
v Heiho (pembantu prajurit Jepang) adalah kesatuan militer yang dibentuk oleh pemerintah Jepang yang beranggotakan para pemuda Indonesia. Heiho menjadi bagian Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang. Anggota Heiho mendapat latihan kemiliteran agar mampu menggantikan prajurit Jepang di dalam peperangan. Para anggota Heiho mendapat latihan untuk menggunakan senjata (senjata anti pesawat, tank, artileri medan, mengemudi, dan sebagainya). Namun, tidak ada satupun anggota Heiho yang berpangkat perwira. Pangkat perwira hanya dipeuntukkan bagi orang-orang Jepang. Para anggota Heiho mendapat latihan kemiliteran. Untuk itu, pemerin-tah Jepang menugaskan seksi khusus dari bagian intelejen untuk melatih para anggota Heiho. Latihan dipimpin oleh Letnan Yana-gawa dengan tujuan agar para pemuda Indonesia dapat melak-sanakan tugas intelejen.
v Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943. Menjelang berakhirnya latihan kemiliteran angkatan ke 2, keluarlah surat perintah untuk membentuk PETA. Namun, Letjen Kamakici Harada memutuskan agar pembentukkan PETA bukan inisiatif pemerintah Jepang, melainkan inisiatif bangsa Indonesia. Untuk itu, dicarilah seorang putera Indonesia yang berjiwa nasionalis untuk memimpin PETA. Akhirnya, pemerintah Balatentara Jepang meminta Gatot Mangunpraja (seorang nasionalis yang bersimpati terhadap Jepang) untuk menulis permohonan pembentukkan tentara PETA. Surat permohonan telah dikirim pada tanggal 7 September 1943 dan permohonan itu dikabulkan dengan dikeluarkan peraturan yang disebut Osamu Seirei No. 44, tanggal 3 Oktober 1943. Pembentukkan PETA, ternyata menarik perhatian para pemuda Indonesia, terutama yang telah mendapat pendidikan sekolah menengah dan para anggota Seinendan. Keanggotaan PETA dibedakan dalam beberapa pangkat yang berbeda (sebenarnya bukan pangkat, tetapi nama jabatan). Ada lima macam pangkat, yaitu: (1) Daidanco (Komandan Batalyon), (2) Cudanco (Komandan Kompi), (3) Shudanco (Komandan Peleton), (4) Budanco (Komanda Regu), dan (5) Giyuhei (Prajurit Sukarela).

Daidanco (Komandan Batalyon) dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat yang terkemuka seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, para politikus, penegak hukum, dan sebagainya. Cudanco (Komandan Kompi) dipilih dari mereka yang bekerja, tetapi belum memiliki jabatan yang tinggi seperti para guru, juru tulis, dan sebagainya. Shudanco (Komandan Peleton) biasanya dipilih dari para pelajar sekolah lanjutan pertama dan atas. Budanco (Komanda Regu) dan Giyuhei (Prajurit Sukarela) dipilih dari para pelajar sekolah dasar. 
Para pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu; (1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi, (2) mereka yang menjadi anggota PETA karena dipengaruhi orang lain, dan (3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh. Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa kemenangan Jepang dalam Perang Pasifik akan membawa perubahan hidup bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa yang merdeka. Di samping itu, ada yang percaya pada ramalan Joyoboyo bahwa Jepang  akan meninggalkan Indonesia dan Indonesia akan menjadi negara yang merdeka. Untuk itu, Indonesia memerlukan tentara untuk mengamankan wilayahnya.  
Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor pada lembaga Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama lembaga itu kemudian berubah menjadi Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat pendi-dikan, mereka ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali.  
Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap pemerintah Balatentara Jepang. Kekecewaan itu berujung pada meletusnya pemberontakkan. Pemberontakkan PETA terbesar terjadi di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang djipimpin oleh Supriyadi. Pemberontakkan itu dipicu karena kekejaman Jepang dalam memperlakukan para pemuda yang dijadikan tenaga romusha.

Adapun organiasi semi militer yang dibentuk Jepang, antara lain:
1.    Gerakan 3A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, dan Jepang Pelindung Asia) merupakan organisasi sosial yang bertujuan untuk mewadahi bangsa Indonesia agar lebih mudah untuk mengaturnya, terutama untuk mencapai tujuan Jepang. Gerakan 3A yang dipimpin oleh Mr. Syamsuddin, bertujuan:
§  Menghimpun bangsa indonesia untuk mengabdi kepada kepentingan Jepang.
§  Mempropagandakan kemenangan Jepang.
§  Menanamkan anti Barat, terutama Belanda, Inggris, dan USA.
2.    Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Putera dibentuk untuk menggantikan Gerakan 3 A. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan semangat bangsa Indonesia dalam membantu pemerintah Jepang dalam perang melawan Sekutu. Putera didirikan pada tanggal 1 Maret 1943 dipimpin oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kyai Haji Mansyur. Mengapa Jepang memilih tokoh-tokoh yang terkenal dan berpengaruh untuk memimpin Putera? Namun, para tokoh pergerakan nasional itu ingin menggunakan Putera sebagai alat perjuangan. Maksud tersebut diketahui oleh Jepang sehingga organisasi itu dibubarkan pada tahun 1944. Dengan demikian, maksud pembentukkan Putera tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan.
3.    Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa). Organisasi ini dibentuk pada tahun 1944, setelah kedudukan pasukan Jepang semakin terdesak. Tujuannya adalah untuk menggerakan seluruh rakyat Indonesia agar berbakti kepada Jepang. Sebagai tanda bahwa rakyat benar-benar berbakti, maka rakyat harus rela berkurban, baik harta benda maupun jiwa dan raga untuk kepentingan perang Jepang. Rakyat Indonesia harus menyerah-kan emas, intan, dan segala harta benda (terutama beras) untuk kepentingan perang.

Akibatnya, kemiskinan merajalela di mana-mana, rakyat hanya berpakaian karung goni, rakyat banyak yang mati karena kelaparan. Rakyat dididik/dilatih kemiliteran untuk memperkuat pertahanan Indonesia apabila diserang oleh Sekutu. Rakyat dipaksa untuk melaksanakan kerja paksa untuk membangun barak-barak militer. Rakyat dipaksa untuk menjadi romusha.

·      Bidang Sosial
Salah satu kebijakan yang cukup penting dalam bidang sosial adalah pembagian kelas masyarakat seperti pada zaman Belanda. Masyarakat hanya dibedakan menjadi ‘saudara tua’ (Jepang) dan ‘saudara muda’ (Indonesia). Sedangkan penduduk Timur asing, terutama Cina adalah golongan masyarakat yang sangat dicurigai karena di negeri leluhurnya bangsa Cina telah mempersulit bangsa Jepang dalam mewujudkan cita-citanya. Hal ini sesuai dengan propaganda Jepang bahwa ‘Asia untuk bangsa Asia’. Namun dalam kenyataannya, Indonesia bukan untuk bangsa Asia, melainkan untuk bangsa Jepang. Untuk mencapai tujuannya, Jepang mengeluarkan beberapa kebijakan di bidang sosial, seperti:
a.    Pembentukkan Rukun Tetangga (RT)
Untuk mempermudah pengawasan dan pengerahan penduduk, pemerintah Jepang membentuk Tanarigumi (RT). Pada waktu itu, Jepang membutuhkan tenaga yang sangat besar jumlahnya untuk membuat benteng-benteng pertahanan, lapangan pesawat terbang darurat, jalan, dan jembatan. Pengerahan masyarakat sangat terasa dengan adanya Kinrohoishi (kerja bakti yang menyerupai dengan kerja paksa). Oleh karena itu, pembentukkan RT dipandang sangat efektif untuk mengerahkan dan mengawasi aktivitas masyarakat.
b.    Romusha
Romusha adalah pengerahan tenaga kerja secara paksa untuk membantu tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh Jepang. Pada awalnya, romusha dilaksanakan  dengan sukarela, tetapi lama-kelamaan dilaksanakan secara paksa. Bahkan, setiap desa diwajibkan untuk menyediakan tenaga dalam jumlah tertentu. Hal itu dapat dimaklumi karena daerah peperangan Jepang semakin luas. Tenaga romusha dikirim ke beberapa daerah di Indonesia, bahkan ada yang dikirim ke Malaysia, Myanmar, Serawak, Thailand, dan Vietnam. Para tenaga romusha diperlakukan secara kasar oleh Balatentara Jepang. Mereka dipaksa untuk bekerja berat tanpa mendapatkan makanan, minuman, dan jaminan kesehatan yang layak.
Kekejaman Jepang terhadap tenaga romusha menyebabkan para pemuda berusaha menghindar agar tidak dijadikan tenaga romusha. Akhirnya, Jepang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kasar.
c.    Pendidikan
Pada zaman Jepang, pendidikan mengalami peru-bahan. Sekolah Dasar (Gokumin Gakko) diperuntukkan untuk semua warga masyarakat tanpa membedakan status sosialnya. Pendidikan ini ditempuh selama enam tahun. Sekolah menengah dibedakan menjadi dua, yaitu: Shoto Chu Gakko (SMP) dan Chu Gakko (SMA). Di samping itu, ada Sekolah Pertukangan (Kogyo Gakko), Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Sermon Gakko), dan Sekolah Guru yang dibedakan menjadi tiga tingkatan. Sekolah Guru dua tahun (Syoto Sihan Gakko), Sekolah Guru empat tahun (Guto Sihan Gakko), dan Sekolah Guru dua tahun (Koto Sihan Gakko).  
Seperti pada zaman Belanda, Jepang tidak menyelenggarakan jenjang pendidikan universitas. Yang ada hanya Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Tinggi Teknik (Kagyo Dai Gakko) di Bandung. Kedua Sekolah Tinggi itu meru-pakan kelanjutan pada zaman Belanda. Untuk menyiapkan kader pamong praja diselenggarakan Sekolah Tinggi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta. 
d.      Penggunaan Bahasa Indonesia
Menurut Prof. Dr. A. Teeuw (ahli Bahasa Indonesia berkebangsaan Belanda) bahwa pendu-dukan Jepang merupakan masa bersejarah bagi Bahasa Indonesia. Tahun 1942, pemerintah pendudukan Jepang melarang penggunaan Bahasa Belanda dan digantikan dengan Bahasa Indonesia. Bahkan, pada tahun 1943 semua tulisan yang berbahasa Belanda dihapuskan diganti dengan tulisan berbahasa Indonesia.  
Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahasa pergaulan, tetapi telah menjadi bahasa resmi pada instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Sejak saat itu, banyak karya sastra telah ditulis dalam Bahasa Indonesia, seperti karya Armin Pane yang berjudul Kami Perempuan (1943), Djinak-djinak Merpati, Hantu Perempuan (1944), Barang Tidak Berharga (1945), dan sebagai-nya. Pengarang lain seperti Abu Hanifah yang lebih dikenal dengan nama samaran El Hakim dengan karyanya berjudul Taufan di atas Angin, Dewi Reni, dan Insan Kamil. Selain itu, penyair terkenal pada masa pendudukan Jepang, Chairil Anwar yang mendapat gelar tokoh Angkatan ’45 dengan karyanya: Aku, Kerawang Bekasi, dan sebagainya.

Dengan demikian, pemerintah pendudukan Jepang telah mem-berikan kebebasan kepada bangsa Indonesia untuk mengguna-kan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, bahasa komunikasi, bahasa resmi, bahasa penulisan, dan sebagainya. Bahasa Indonesia pun berkembang ke seluruh pelosok Tanah Air.
Sumber:

RAHMATIA KAMALA
25215574

 
CITA CITA EKONOMI INDONESIA
Bangsa Indonesia sudah sejahtera. Lembaga rentenir Internasional, IMF (Dana Moneter Internasional), turut terkesima dan memuja-muja pertumbuhan itu.Namun, fakta lain juga sangat mencengankan. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal, pada tahun 2005,  rasio Indonesia masih 0,33.Data lain juga menunjukkan, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia mencapai Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB. Konon, nilai kekayaan dari 40 ribu orang itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang. Data lain menyebutkan, 50 persen kekayaan ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 50 orang.
Pertumbuhan ekonomi yang spektakuler itu tidak mencerminkan kesejahteraan rakyat. Yang terjadi, sebagian besar aset dan pendapat ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Sementara mayoritas rakyat tidak punya aset dan akses terhadap sumber daya ekonomi. Akhirnya, terjadilah fenomena: 1% warga negara makin makmur, sementara 99% warga negara hidup pas-pasan.“Apakah pembangunan ekonomi semacam itu yang menjadi cita-cita kita berbangsa?”
Bung Hatta pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat. “Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung Hatta di New York, AS, tahun 1960). Karena itu, para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, kemudian merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis besar cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Artinya, dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita tidak menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat. Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat.Agar cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita: Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.
Dalam pasal 33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme). Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi, termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Akan tetapi, sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur), proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian ala pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu, pada masa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Akibatnya, cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya, yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah, ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke negeri-negeri kapitalis maju.


EKONOMI INDONESIA SETIAP PERIODE PEMERINTAHAN ORDE LAMA, ORDE BARU,DAN REFORMASI
Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dituntut untuk mampu menghidupi negaranya sendiri dalam berbagai aspek kehidupan, terutama aspek ekonomi. Perkembangan ekonomi Indonesia mengalami perkembangan mulai masa pemerintahan Presiden Soekarno yang dikenal dengan zaman Orde Lama. Kemudian mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan zaman Orde Baru. Hingga zaman reformasi yang mengalami perubahan besar-besaran dalam aspek ekonomi. Periode kekuasaan di Indonesia yaitu Orde Lama, Orde Baru dan reformasi memiliki ciri khas masing-masing yang pada akhirnya juga membawa dampak yang berbeda-beda bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Orientasi pembangunan yang dimaksud adalah orientasi pembangunan keluar, yakni pembangunan dengan melakukan stabilisasi ekonomi negeri dengan memanfaatkan sumber luar negeri dan pembangunan berorientasi ke dalam, yang merupakan usaha stablisasi ekonomi dengan memperkuat usaha-usaha dalam negeri (Mas’oed, 1989:95).
Orde Lama dibawah pimpinan Soekarno bersikap anti batuan asing dan berorientasi ke dalam. Soekarno menyatakan bahwa nilai kemerdekaan yang paling tinggi adalah berdiri di atas kaki sendiri atau yang biasa disebut “berdikari” (Mas’oed, 1989:76). Soekarno tidak menghendaki adanya bantuan luar negeri dalam membangun perekonomian Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia haruslah dilakukan oleh Indonesia sendiri. Bahkan Soekarno melakukan kampanye Ganyang Malaysia yang semakin memperkuat posisinya sebagai oposisi bantuan asing. Semangat nasionalisme Soekarno menjadi pemicu sikapnya yang tidak menginginkan pihak asing ikut campur dalam pembangungan ekonomi Indonesia. Padahal saat itu di awal kemerdekaannya Indonesia membutuhkan pondasi yang kuat dalam pilar ekonomi. Sikap Soekarno yang anti bantuan asing pada akhirnya membawa konsekuensi tersendiri yaitu terjadinya kekacauan ekonomi di Indonesia. Soekarno cenderung mengabaikan permasalahan mengenai ekonomi negara, pengeluaran besar-besaran yang terjadi bukan ditujukan terhadap pembangunan, melainkan untuk kebutuhan militer, proyek mercusuar, dan dana-dana politik lainnya. Soekarno juga cenderung menutup Indonesia terhadap dunia luar terutama negara-negara barat. Hal itu diperkeruh dengan terjadinya inflasi hingga 600% per tahun pada 1966 yang pada akhirnya mengakibatkan kekacauan ekonomi bagi Indonesia. Kepercayaan masyarakat pada era Orde Lama kemudian menurun karena rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi.
Kemudian fase baru dimulai dalam perkembangan Indonesia, yakni masa Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Di era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, slogan “Politik sebagai Panglima” berubah menjadi “Ekonomi sebagai Panglima”. Karena pada masa ini, pembangunan ekonomi merupakan keutamaan, buktinya, kebijakan-kebijakan Soeharto berorientasi kepada pembangunan ekonomi. Kepemimpinan era Soeharto juga berbanding terbalik dengan kepemimpinan era Soekarno. Jika kebijakan Soekarno cenderung menutup diri dari negara-negara barat, Soeharto malah berusaha menarik modal dari negara-negara barat itu. Perekonomian pada masa Soeharto juga ditandai dengan adanya perbaikan di berbagai sector dan pengiriman delegasi untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman dari negara-negara barat dan juga IMF. Jenis bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan harga-harga melalui “injeksi” bahan impor ke pasar. Orde Baru berpandangan bahwa Indonesia memerlukan dukungan baik dari pemerintah negara kapitalis asing maupun dari masyarakat bisnis internasional pada umumnya, yakni para banker dan perusahaan-perusahaan multinasional (Mochtar 1989,67). Orde Baru cenderung berorientasi keluar dalam membangun ekonomi. Langkah Soeharto dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap penyelamatan yang bertujuan untuk mencegah agar kemerosotan ekonomi tidak menjadi lebih buruk lagi. Kedua, stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonmi. Ketiga, pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia dengan negara lain dipererat melalui berbagai kerjasama, Indonesia juga aktif dalam organisasi internasional, terutama PBB, dan penyelesaian konflik dengan Malaysia. Awalnya bantuan asing sulit diperoleh karena mereka telah dikecewakan oleh Soekarno, namun dnegan berbagai usaha dan pendekatan yang dilakukan kucuran dana asing tersebut akhirnya diterima Indonesia. Ekonomi Indonesia mulai bangkit bahkan akhirnya menjadi begitu kuat.
Sayangnya kekuatan ekonomi itu didapatkan dari bantuan asing yang suka atau tidak harus dikembalikan. Suntikan bantuan dari Amerika Serikat maupun Jepang cukup berperan besar dalam perbaikan ekonomi di Indonesia. Begitupun dengan IMF yang dinilai sangat bermanfaat dalam memperjuangkan Indonesia di hadapan para kreditor asing (Mas’oed, 1989:84). Namun, bantuan tersebut tidak serta merta membuat Indonesia tumbuh dengan prestasi ekonomi, Indonesia ternyata semakin terjerat keterpurukan perekonomian dalam negeri akibat syarat-syarat dan bunga yang telah direncanakan negara penyuntik bantuan. Booth (1999) menjelaskan kegagalan industri dalam negeri dipasar global serta terjun bebasnya nilai rupiah juga menjadi warisan keterpurukan ekonomi pada Orde Baru yang berorientasi pada pembangunan ekonomi keluar. Maka, kini hal tersebut menjadi tantangan pemerintahan reformasi untuk menuntaskan permasalahan ekonomi dalam negeri.
Reformasi ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dan diangkatnya BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden menjadi Presiden Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tidak mampunya Soeharto mengalami permasalahan ekonomi serta semakin mewabahnya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Trauma zaman Orde Baru yang mengekang hak-hak demokrasi warga negara serta kediktatoran Soeharto menyebabkan terjadinya perubahan menyeluruh dalam tiap aspek kehidupan. Naiknya nilai tukar dollar secara tak tertahankan pada zaman Orde Baru, menyebabkan naiknya berbagai kebutuhan pokok Indonesia. Namun, secara perlahan nilai tukar dollar terhadap rupiah ini semakin menurun hingga saat ini. Selanjutnya yang menjadi penting yakni orientasi ekonomi yang bagaimana, ke luar atau ke dalam, yang kemudian dapat dianggap dan diharapkan efektif dan sesuai dengan kondisi Indonesi saat ini. Orientasi ekonomi ke dalam pada zaman kepemimpinan Soekarno yakni Orde Lama masih memiliki kekurangan. Begitu pula dengan era Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto. Kekurangan-kekurangan tersebut yang akhirnya memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi di Indonesia. Dalam masa kini perkembangan ekonomi tentu saja lebih baik dari pada dua era tersebut. Sebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu berpacu pada orientasi ke luar atau ke dalam. Orientasi ekonomi di Indonesia harus lebih fleksibel. Karena dengan hal tersebut maka ekonomi di Indonesia tidak hanya berpusat di dalam negeri tanpa mau menerima bantuan asing, juga tidak hanya berkonsentrasi pada bantuan asing tanpa memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Alangkah lebih baiknya jika orientasi ke dalam maupun ke luar dapat seimbang, sehingga Indonesia yang tentu saja masih memiliki kekurangan dapat menerima berbagai bantuan luar negeri secara wajar, yang kemudian tidak lupa untuk memaksimalkan sumber-sumber yang ada di Indonesia sendiri, baik itu SDA maupun SDM di Indonesia. Pemerintah juga harus dengan bijaksana menentukan berbagai kebijakan mengenai bantuan maupun investor asing yang akan membantu hingga menanamkan sahamnya di Indonesia. Sehingga Indonesia tidak menjadi pihak yang dirugikan, serta berbagai bantuan yang datang dari luar negeri maupun investor asing dapat dibatasi kewenangannya di Indonesia dan mencegah investor asing untuk mendapatkan keuntungan dan eksploitasi yang berlebihan terhadap Indonesia.
Prathama Raharja dan Mandala Manurung (2008), Teori Ekonomi Makro : Suatu pengantar , edisi lima, Lembaga Penerbitan Ekonomi Universitas Indonesia.