Jumat, 15 April 2016

KESENJANGAN DAN KEMISKINAN

Kemiskinan dan Kesenjangan

Diva Viona Leonita
21215992
Pertemuan ke-5
Konsep-konsep dan pengertian kemiskinan
A.   Pengertian kemiskinan
o  Prof. Mubiyarto
Kemiskinan adalah rendahnya taraf kehidupan suatu masyarakat baik yang berada di pedesaan maupun yang berada di daerah perkotaan.
o  M. Jauhari Wira Karta Kesuma
Kemiskinan adalah adanya pertambahan kesejahteraan penduduk di kota yang terus meningkat, sementara penduduk yang berada di desa relatif stabil atau menurun serta belum terlihat kecenderungan untuk membaik.
o  Benyamin White
Kemiskinan adalah tingkat kesejahteraan masyarakat terdapat perbedaan kriteria dari satu wilayah dengan wilayah lain.

Secara umum, kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata-rata masyarakat di suatu daerah. Kondisi ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya kemampuan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik berupa sandang, pangan, maupun papan. Kemampuan pendapatan yang rendah ini juga akan berdampak berkurangnya kemampuan untuk memenuhi standar hidup rata-rata seperti standar kesehatan masyarakat dan standar pendidikan.

B.   Konsep-konsep kemiskinan
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi  kebutuhan  konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam  dan lingkungan hidup, rasa  aman dari  perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan  hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Untuk mewujudkan hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang miskin Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective. Pendekatan  kebutuhan  dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack  of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat   dalam   memenuhi  kebutuhan minimum, antara lain pangan,  sandang,  papan,  pelayanan  kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh  rendahnya penguasaan asset, dan alat- alat   produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan   secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan  kemampuan dasar  seperti  kemampuan  membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi  orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare  approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar  keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri. Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak  bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan  kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan.
Kesenjangan Ekonomi (ketimpangan dalam distribusi pendapatan) yang terjadi di banyak negara sedang berkembang mengilhami para pembuat kebijaksanaan untuk menitikberatkan pembangunan dengan tujuan laju pertumbuhan yang tinggi dan percaya dengan adanya Trickle Down Effect. Namun dalam kenyataannya setelah 10 tahun berjalan, efek menurun ke bawah tersebut berjalan lambat, ditandai oleh kesenjangan yang semakin membesar.
Orientasi pembangunan berubah → kesejahteraan masyarakat lebih diutamakan salah satunya melalui peningkatan pembangunan luar Jawa seperti program IDT, pembangunan usaha kecil dan RT, dan lain-lain. Krisis moneter yang menimpa Indonesia memperparah kesenjangan ekonomi masyarakat.
·      Kemiskinan relatif adalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dengan ukuran pendapatan perkapita.
·      Kemiskinan absolut adalah apabila kebutuhan minimum untuk bertahan hidup sebagian besar masyarakat tidak dapat terpenuhi.

Garis Kemiskinan
            Garis kemiskinan merupakan salah satu indikator kemiskinan yang menyatakan rata-rata pengeluaran makanan dan non-makanan perkapita pada kelompok referensi (reference population) yang telah diteteapkan (BPS, 2004). Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas garis kemiskinan. Berdasarkan definisi dari BPS, garis kemiskinan dapat diartikan sebagai batas konsumsi minimum dari kelompok masyarakat marjinal yang berada pada referensi pendapatan sedikit lebih besar daripada pendapatan terendah. Pada prinsipnya, indikator garis kemiskinan mengukur kemampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok/dasar atau mengukur daya beli minimum masyarakat di suatu daerah. Konsumsi yang dimaksudkan dalam garis kemiskinan ini meliputi konsumsi untuk sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan (Suryawati, 2004:123).

Penyebab dan Dampak Kemiskinan
A.   Penyebab Kemiskinan
Menurut Karimah Kuraiyyim, penyebab kemiskinan yaitu:
a.    Merosotnya standar perkembangan pendapatan perkapita secara global
b.    Menurunnya etos kerja dan produktivitas masyarakat
c.    Biaya kehidupan yang tinggi
d.    Pembagian subsidi pemerintah yang kurang merata

B.   Dampak Kemiskinan
v Pengangguran
Banyaknya pengangguran, berarti mereka tidak bekerja dan otomatis mereka tidak mendapatkan penghasilan. Dengan tidak bekerja dan tidak mendapatkan penghasilan, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara otomatis, pengangguran menurunkan daya saing dan daya beli masyarakat.
v Kekerasan
Kekerasan yang terjadi biasanya disebabkan karena efek pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah yang benar dan halal.
v Pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan mengakibatkan masyarakat miskin tidak dapat menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
v Kesehatan
Biaya pengobatan yang terjadi pada klinik pengobatan bahkan rumah sakit swasta besar sangat mahal dan biaya pengobatan tersebut tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat miskin.
v Konflik sosial bernuansa SARA
Konflik SARA terjadi karena ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi kemiskinan yang semakin hari semakin akut. Hal ini menjadi sebuah bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. Terlebih lagi fenomena bencana alam yang sering terjadi di negeri ini, yang berdampak langsung terhadap meningkatnya angka kemiskinan. Semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia, baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Sumber:


Nur Azka Amaliadina
25215174
Pertemuan ke-5

Pertumbuhan, kesenjangan, dan kemiskinan
Data 1970--1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan sikaya dengan si miskin.
Penelitian di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 1980an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s  dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia.
Janti (1997) menyimpulkan semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga.
Hipotesis Kuznets menyimpulkan ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan. 
Dengan data cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemnukan bahwa relasi kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U terbalik.

Tingkat Kesenjangan

Periode
                                                           


Tingkat Pendapatan Per Kapita
Hasil ini menginterpretasikan: Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan (ekonomi industri) è Pada awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai akibat proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan, ketimpangan menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga kerja  dari desa atau produksi atau penciptaan pendapatan dari pertanian lebih kecil.
Deininger dan Squire (1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486 observasi dari 45 LDC’s dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini berkorelasi positif antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.
Anand dan Kanbur (1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung hipotesis Kuznets. Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi pendapatan tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep pendapatan, unit populasi dan cakupan survey berbeda.
Ravallion dan Datt (1996) menggunakan data India:
§  proxy dari pendapatan perkapita dengan melogaritma jumlah produk domestik (dalam nilai riil) per orang (1951=0)
§  proxy tingkat kesenjangan adalah indeks Gini dari konsumsi perorang (%)
Hasilnya menunjukkan tahun 1950an-1990an rata-rata pendapatan perkapita meningkat dan tren perkembangan tingkat kesenjangan menurun (negative).
Ranis, dkk (1977) untuk China menunjukkan korelasi negative antara pendapatan dan kesenjangan.

Indikator kesenjangan dan kemiskinan
Pengukuran mengenai kemiskinan yang selama ini dipergunakan didasarkan pada ukuran atas rata-rata pendapatan dan rata-rata pengeluaran masyarakat dalam suatu daerah. Perluasan pengukuran dengan menyertakan pandangan mengenai dimensi permasalahan dalam kemiskinan mengukur banyaknya individu dalam kelompok masyarakat yang mendapatkan pelayanan atau fasilitas untuk kesehatan dan pendidikan. Beberapa perluasan pengukuran lainnya adalah menyertakan dimensi sosial politik sebagai referensi untuk menerangkan terbentuknya kemiskinan. Keseluruhan hasil pengukuran ini selanjutnya dikatakan sebagai indikator-indikator kemiskinan yang digolongkan sebagai indikator-indikator sosial dalam pembangunan. Adapun indikator-indikator kemiskinan yaitu sebagai berikut:
Ø Indikator kemiskinan berdasarkan dimensi ekonomi
Berdasarkan sudut pandang ekonomi, kemiskinan adalah bentuk ketidakmampuan dari pendapatan seseorang maupun sekelompok orang untuk mencukupi kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar. Dimensi ekonomi dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan seseorang baik secara finansial maupun jenis kekayaan lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Suryawati, 2014:123). Dimensi ekonomi untuk kemiskinan memiliki dua aspek, yaitu aspek pendapatan dan aspek konsumsi atau pengeluaran. Aspek pendapatan yang dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan adalah pendapatan perkapita, sedangkan untuk aspek ekonomi yang dapat digunakan sebagai indikator kemiskinan adalah garis kemiskinan.
1)   Pendapatan perkapita
Indikator pendapatan perkapita menerangkan terbentuknya pemerataan pendapatan yang merupakan salah satu indikasi terbentuknya kondisi yang disebut miskin.
2)   Garis kemiskinan
Garis kemiskinan merupakan salah satu indikator kemiskinan yang menyatakan rata-rata pengeluaran makanan dan non-makanan perkapita pada kelompok referensi yang telah ditetapkan. Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas garis kemiskinan. Berdasarkan definisi dari BPS, garis kemiskinan dapat diartikan sebagai batas konsumsi minimum dari kelompok masyarakat marjinal yang berada pada referensi pendapatan sedikit lebih besar daripada pendapatan terendah. Pada prinsipnya, indikator garis kemiskinan mengukur kemampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok/dasar atau mengukur daya beli minimum masyarakat di suatu daerah. Konsumsi yang dimaksudkan dalam garis kemiskinan ini meliputi konsumsi untuk sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan (Suryawati, 2004:123).

Ø Indikator kemiskinan berdasarkan dimensi peran pemerintah
Pemerintah sebagai regulator sekaligus dinamisator dalam suatu perekonomian merupakan salah satu pihak yang memiliki peran sentral dalam upaya untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan. Di Indonesia, penanggulangan permasalahan kemiskinan dikoordinasikan oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial. Program penanggulangan kemiskinan ini dibiayai melalui Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional (APBN) melalui pos pengeluaran untuk Program Pembangunan. Prinsip yang digunakan program ini bahwa penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui upaya untuk meningkatkan pembangunan di bidang sumber daya manusia dan pemenuhan sarana maupun prasarana fisik.

Ø Indikator kemiskinan berdasarkan dimensi kesehatan
Dari berbagai data kemiskinan yang dhimpun menyebutkan adanya keterkaitan antara kemiskinan dan kualitas kesehatan masyarakat. Rendahnya kemampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk memperoleh standar kesehatan yang ideal baik dalam bentuk gizi maupun pelayanan kesehatan yang memadai. Dampak dari kondisi seperti ini adalah tingginya resiko terhadap kondisi kekurangan gizi dan kerentanan atau resiko terserang penyakit menular.
Indikator pelayanan air bersih atau air minum merupakan salah satu persyaratan terpenuhinya standar hidup yang ideal di suatu daerah. Ketersediaan air bersih akan mendukung masyarakat untuk mewujudkan standar hidup sehat yang layak. Dalam hal ini, ketersediaan air bersih akan mengurangi resiko terserang penyakit yang diakibatkan kondisi sanitasi air yang buruk. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka terdapat keterkaitan/hubungan antara ketersediaan pelayanan air bersih dan jumlah penduduk miskin di suatu daerah. Pada sisi permasalahan lain, ketersediaan air bersih sangat ditentukan oleh kemampuan pembangunan prasarana air bersih dalam menjangkau lingkungan atau pemukiman masyarakat. Masyarakat yang kurang terjangkau oleh pelayanan air bersih/minum relatif lebih rendah kualitas kesehatannya dibandingkan masyarakat yang telah mendapatkan pelayanan air bersih.

Sumber:


Rahmatia Kamala
25215574
Pertemuan ke-5

Faktor-faktor penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
1)   Penyebab individual atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
2)   Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
3)   Penyebab sub budaya (sub cultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari, atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
4)   Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akbat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
5)   Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.

Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.

Kebijakan anti kemiskinan
Proses Kebijakan publik, khususnya kebijakan anti kemiskinan tidak akan lepas dari peran paradigma. Paradigma memberikan acuan kepada setiap analis kebijakan tentang apa yang menjadi masalah dan bagaimana cara penyelesaiannya. Dalam perkembangannya, dua paradigma utama yang berpengaruh dalam proses kebijakan publik tersebut adalah Kapitalisme dan Sosialisme. Kapitalisme di satu  sisi menganjurkan kebijakan publik diserahkan kepada mekanisme pasar, individualisasi kesejahteraan, kemodifikasi, dan minimalisasi peran negara.
Sebaliknya, Sosialisme menekankan keterlibatan aktif negara dalam kebijakan publik, serta mendukung upaya menciptakan pemerataan dan keadilan sosial.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perdebatan paradigmatik dalam pengembangan kebijakan publik, khususnya kebijakan anti kemiskinan di Indonesia. Khususnya kritik sosialisme di tengah hegemoni kapitalisme. Namun sosialisme yang dimaksud oleh tulisan ini tidak seperti model negara sentralistik (etatisme), yang tidak mengakui hak milik serta inisiatif individu. Sosialisme dalam hal ini adalah paradigma yang menekankan keberpihakan proses kebijakan publik pada kepentingan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Negara dalam hal ini tidak dominatif, namun menjalankan kewajibannya menjamin kesejahteraan sosial.
Untuk menjelaskan perdebatan paradigma tersebut, tulisan ini melakukan penelusuran kepustakaan berupa buku, artikel media massa, makalah dan tulisan ilmiah, yang ditulis oleh sejumlah stakeholder aktif dalam analisis kebijakan anti kemiskinan. Stakeholder aktif tersebut direpresentasi oleh elit negara, kalangan swasta, dan unsur masyarakat sipil. Sementara itu, periode yang menjadi konteks penelitian ini adalah Orde Baru dan Pascanya. Tulisan ini menyimpulkan, bahwa perdebatan paradigmatik dalam pengembangan kebijkan anti kemiskinan di Indonesia didominasi oleh Kapitalisme. Dominasi ini terjadi karena proses kebijakan publik yang kapitalistik tersebut bersifat elitis dan teknokratis. Hal ini terkait dengan dominannya peran elit intelektual serta elit negara pro pasar dalam proses kebijakan. Selain itu, dominasi ini juga disebabkan oleh adanya tekanan lembaga keuangan global, seperti IMF. Tekanan ini membuat Indonesia memiliki alternatif kebijakan publik yang terbatas. Lebih dari tiga dasawarsa Orde Baru, Kapitalisme berperan besar dalam mengarahkan kebijakan publik. Sementara era reformasi lebih merupakan sebuah keberlanjutan hegemoni kapitalisme tersebut.
Latar yang memungkinkan dominasi kapitalisme tersebut sekaligus menjelaskan kekalahan wacana-wacana sosialistik dalam pengembangan kebijakan publik di Indonesia. Namun demikian, kasus Indonesia memperlihatkan pula adanya dualisme paradigma dalam praktek kebijakan publik. Di tengah dominasi kapitalisme selama Orde Baru dan pascanya, pemerintah dalam kasus tertentu memperlihatkan keberpihakannya pada wacana-wacana sosialistik. Seperti yang diperlihatkan oleh kebijakan Inpres desa Tertinggal mulai tahun 1994, dan bantuan langsung tunai sebagai kompensasi atas kebijakan kenaikan harga bahan bakar
minyak pasca krisis ekonomi.
Sumber:


Diva Viona Leonita                       (21215992)
Nur Azka Amaliadina                   (25215174)
Rahmatia Kamala                          (25215574)
Pertemuan ke-5

Contoh Kasus dan Analisis

Inclusive social protection
for poverty alleviation

Abdurrahman Syebubakar, Jakarta | Opinion | Tue, March 01 2016, 9:30 AM
Opinion News
Indonesia has emerged as a middle-income country and an important player in the global economy (G20) but faces three major problems: a slowing reduction of poverty rates, rising inequality and a high level of vulnerability for much of the population living in poverty.

As of September 2015, 28.51 million Indonesians (11.13 percent) lived below the poverty line, with the poor experiencing worsening socio-economic conditions.

Around 70 million people lived just above the poverty line and were vulnerable to economic shocks or other crises—such as ill-health or unemployment—which could push them into poverty.

In fact, over 80 percent of the population lives on less than Rp 32,000 (US$2.20) per day, which isn’t even enough to buy a cup of coffee at Starbucks. Indonesia’s Gini coefficient, which indicates inequality in income distribution, is 0.41, its highest in 50 years and the highest among Asian countries. If it continues to rise, Indonesia could be at risk of social instability.

According to the 2015-2019 Medium-Term Development Plan (RPJMN), the government aims to address the three above-mentioned major problems using four inter-linked strategies, which are: building a strong foundation for economic growth resulting in quality employment opportunities; establishing a comprehensive social protection system; promoting sustainable livelihoods; and increasing and expanding basic social services. By 2019, as projected in the RPJMN, the poverty rate and Gini coefficient are expected to fall to 7-8 percent and 0.36, respictively.

Social protection has been rebranded and expanded by the government through the Prosperous Family Savings Program (PSKS) that gives direct assistance to the poorest 25 percent of the population.

This program is implemented through the Smart Indonesia Program (PIP) and the Healthy Indonesia Program (PIS). The government also continues to implement other social assistance programs such as subsidized rice for the poor (formerly known as Raskin) and the conditional cash transfer program (PKH).

As has been the norm, social protection programs are targeted at different segments of the population. Poverty targeting continues to be employed despite the fact that it generates high inclusion and exclusion errors, and, due to its complexity, is administratively expensive to deliver.

Stephen Kidd of Development Pathways (2016) has noted that “in developing countries, there is no poverty targeting mechanism that comes remotely near being accurate in identifying people living in poverty.

Even well-known schemes such as Brazil’s Bolsa Familia and Mexico’s Oportunidades programs excluded 49 percent and 70 percent respectively of their target populations.”

Indonesia uses the Unified Data Base (UDB) as the basis for social protection targeting. But, as recent research has shown, it faces the challenge that, among the poorest 40 percent of the population covered by the UDB, a high percentage was not on the UDB.

On the other hand, a significant proportion of the richest quintile of the population are on it. Consequently, one cannot expect Indonesia’s targeted social protection programs to be effective in reaching the majority of those living in poverty and vulnerability.

Furthermore, as pointed out by Amartya Sen (1995), the beneficiaries of poverty targeting tend to be politically weak, with minimal influence over electoral results.

And, there is good evidence that poverty targeting can create social tensions in communities, since those excluded from social protection programs become jealous of those who are included as beneficiaries.

So the question is why continue targeting? For its advocated, the argument for targeting rests on moral and resource arguments.

The moral argument is to prioritize the poor over the rich, yet, in reality, it is only universal programs that can ensure the inclusion of the poor. The resource argument is to ensure that limited budgetary resources are used effectively, yet, it half of the poor are excluded, can it be considered effective?

Given that poverty targeting’s disadvantages outweigh its advantages, it is time to look into the alternative approach of inclusive lifecycle social protection as a means of reaching the poor and vulnerable and addressing inequality.

In contrast to poverty targeted schemes, inclusive provision offers better and larger contributions (transfer value) to beneficiaries.

Large scale and inclusive provision can have multiple benefits beyond the immediate purpose of helping the most vulnerable groups like the elderly, children and people with disabilities.

For example, grandmothers in receipt of old-age pensions can care for their grandchildren, to enable their mothers to find work (and further reduce poverty).

And inclusive social protection can generate higher levels of spending in the economy, which can help stimulate economic growth.

Inclusive social protection could reach the 80 percent of the aforementioned Indonesian population that continues to live in insecurity on less than Rp 32,000 per day. As a result, it can build social cohesion and reduce the risk of political instability.

Providing inclusive lifecycle social protection schemes for the majority of Indonesia’s population—and guaranteeing access for the most disadvantaged and vulnerable—is affordable.

For just over 1 percent of GDP, Indonesia could provide comprehensive benefits for the vast majority of older people, children and people with disabilities, significantly improving the impact of the national social protection system.

Not only is inclusive social protection socially and economically desirable, but importantly—as evidenced in many developed and developing countries—it would be politically popular and would subsequently translate into support for expanding the fiscal space available for financing social protection, while reaping electoral rewards for ambitious and far-sighted policy makers and politicians.

Given the advantages of inclusive social protection, it is sensible for the government to explore the feasibility of piloting, if not implementing it accross all areas of social policy, including inclusive old-age grants, child benefits and disability benefits. Our Constitution guarantees the right of all citizens to social security, and it is time that that is fulfilled.
The writer chairs the Institute for Democracy Education (IDe) — a Jakarta-based thinktank promoting democracy and human development.

Sumber : 
http://www.thejakartapost.com/news/2016/03/01/inclusive-social-protection-poverty-alleviation.html

ANALISIS
Inclusive social protection for poverty alleviation
Social protection programs continue to be done in Indonesia to reduce poverty are not fully yielded good results, even more disadvantages than advantages, such as the social tension in society and administrative costs are expensive. According to Stephen Kidd, in developing countries there is no mechanism for poverty alleviation accurate, but in Indonesia still do. Preferably, more social protection programs into alternative approach inclusive. Inclusive alternative approach offers a better contribution and bigger to the beneficiaries (the poor). Large scale and inclusive provision can have some benefits and purpose of directly helping the most vulnerable groups such as the elderly, children, and people with disabilities.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar