Kemiskinan dan Kesenjangan
Diva Viona Leonita
21215992
Pertemuan ke-5
Konsep-konsep
dan pengertian kemiskinan
A.
Pengertian kemiskinan
o Prof.
Mubiyarto
Kemiskinan adalah rendahnya taraf
kehidupan suatu masyarakat baik yang berada di pedesaan maupun yang berada di
daerah perkotaan.
o M.
Jauhari Wira Karta Kesuma
Kemiskinan adalah adanya
pertambahan kesejahteraan penduduk di kota yang terus meningkat, sementara
penduduk yang berada di desa relatif stabil atau menurun serta belum terlihat
kecenderungan untuk membaik.
o Benyamin
White
Kemiskinan adalah tingkat
kesejahteraan masyarakat terdapat perbedaan kriteria dari satu wilayah dengan
wilayah lain.
Secara umum, kemiskinan adalah
suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup
rata-rata masyarakat di suatu daerah. Kondisi ketidakmampuan ini ditandai
dengan rendahnya kemampuan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik
berupa sandang, pangan, maupun papan. Kemampuan pendapatan yang rendah ini juga
akan berdampak berkurangnya kemampuan untuk memenuhi standar hidup rata-rata
seperti standar kesehatan masyarakat dan standar pendidikan.
B.
Konsep-konsep kemiskinan
Konsep
tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha,
hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.
BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau
sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak
dasar tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial-politik. Untuk mewujudkan hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang
miskin Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income
approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan
pendekatan objective and subjective. Pendekatan
kebutuhan dasar, melihat
kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack
of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan minimum,
antara lain pangan, sandang, papan,
pelayanan kesehatan, pendidikan,
penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan
disebabkan oleh rendahnya penguasaan
asset, dan alat- alat produktif seperti
tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung
mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini,
menentukan secara rigid standar pendapatan
seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan
kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti
kemampuan membaca dan menulis
untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini
menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi
orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif
atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan
syarat yang harus dipenuhi agar keluar
dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat
atau pandangan orang miskin sendiri. Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana,
karena tidak hanya berhubungan dengan
kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan
dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat
ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan.
Kesenjangan
Ekonomi (ketimpangan dalam distribusi pendapatan) yang terjadi di banyak negara
sedang berkembang mengilhami para pembuat kebijaksanaan untuk menitikberatkan pembangunan
dengan tujuan laju pertumbuhan yang tinggi dan percaya dengan adanya Trickle Down Effect. Namun dalam
kenyataannya setelah 10 tahun berjalan, efek menurun ke bawah tersebut berjalan
lambat, ditandai oleh kesenjangan yang semakin membesar.
Orientasi
pembangunan berubah → kesejahteraan masyarakat lebih diutamakan salah satunya
melalui peningkatan pembangunan luar Jawa seperti program IDT, pembangunan
usaha kecil dan RT, dan lain-lain. Krisis moneter yang menimpa Indonesia
memperparah kesenjangan ekonomi masyarakat.
·
Kemiskinan relatif adalah
kesenjangan dalam distribusi pendapatan dengan ukuran pendapatan perkapita.
·
Kemiskinan absolut adalah apabila
kebutuhan minimum untuk bertahan hidup sebagian besar masyarakat tidak dapat
terpenuhi.
Garis Kemiskinan
Garis
kemiskinan merupakan salah satu indikator kemiskinan yang menyatakan rata-rata
pengeluaran makanan dan non-makanan perkapita pada kelompok referensi (reference population) yang telah
diteteapkan (BPS, 2004). Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk
kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas
garis kemiskinan. Berdasarkan definisi dari BPS, garis kemiskinan dapat
diartikan sebagai batas konsumsi minimum dari kelompok masyarakat marjinal yang
berada pada referensi pendapatan sedikit lebih besar daripada pendapatan
terendah. Pada prinsipnya, indikator garis kemiskinan mengukur kemampuan
pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok/dasar atau mengukur daya beli minimum
masyarakat di suatu daerah. Konsumsi yang dimaksudkan dalam garis kemiskinan
ini meliputi konsumsi untuk sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan
pendidikan (Suryawati, 2004:123).
Penyebab dan Dampak Kemiskinan
A.
Penyebab Kemiskinan
Menurut Karimah Kuraiyyim, penyebab
kemiskinan yaitu:
a.
Merosotnya standar perkembangan
pendapatan perkapita secara global
b.
Menurunnya etos kerja dan
produktivitas masyarakat
c.
Biaya kehidupan yang tinggi
d.
Pembagian subsidi pemerintah yang
kurang merata
B.
Dampak Kemiskinan
v
Pengangguran
Banyaknya pengangguran, berarti
mereka tidak bekerja dan otomatis mereka tidak mendapatkan penghasilan. Dengan
tidak bekerja dan tidak mendapatkan penghasilan, mereka tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Secara otomatis, pengangguran menurunkan daya saing dan
daya beli masyarakat.
v
Kekerasan
Kekerasan yang terjadi biasanya
disebabkan karena efek pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari
nafkah yang benar dan halal.
v
Pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan
mengakibatkan masyarakat miskin tidak dapat menjangkau dunia sekolah atau
pendidikan. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahnya tingkat
pendidikan seseorang. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat
tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala
bidang.
v
Kesehatan
Biaya pengobatan yang terjadi pada
klinik pengobatan bahkan rumah sakit swasta besar sangat mahal dan biaya pengobatan
tersebut tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat miskin.
v
Konflik sosial bernuansa SARA
Konflik SARA terjadi karena
ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi kemiskinan yang semakin hari semakin
akut. Hal ini menjadi sebuah bukti lain dari kemiskinan yang kita alami.
Terlebih lagi fenomena bencana alam yang sering terjadi di negeri ini, yang
berdampak langsung terhadap meningkatnya angka kemiskinan. Semuanya terjadi
hampir merata di setiap daerah di Indonesia, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Sumber:
Nur
Azka Amaliadina
25215174
Pertemuan
ke-5
Pertumbuhan, kesenjangan, dan
kemiskinan
Data
1970--1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat
kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita,
semakin besar perbedaan sikaya dengan si miskin.
Penelitian
di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode
1970an dan 1980an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil,
tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland,
Inggris dan Swedia.
Janti
(1997) menyimpulkan semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan
disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan
publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari
kepala keluarga dan semakin besar pendapatan istri dalam jumlah pendapatan
keluarga.
Hipotesis
Kuznets menyimpulkan ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat
pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan.
Dengan data
cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemnukan bahwa
relasi kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U
terbalik.
Periode
Tingkat Pendapatan Per Kapita
Hasil ini
menginterpretasikan: Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari
ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan (ekonomi industri) è Pada awal
proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai akibat
proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan, ketimpangan
menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga kerja dari desa atau produksi atau penciptaan
pendapatan dari pertanian lebih kecil.
Deininger
dan Squire (1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486
observasi dari 45 LDC’s dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini
berkorelasi positif antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.
Anand dan
Kanbur (1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung hipotesis
Kuznets. Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi
pendapatan tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep pendapatan,
unit populasi dan cakupan survey berbeda.
Ravallion
dan Datt (1996) menggunakan data India:
§ proxy dari
pendapatan perkapita dengan melogaritma jumlah produk domestik (dalam nilai
riil) per orang (1951=0)
§ proxy tingkat
kesenjangan adalah indeks Gini dari konsumsi perorang (%)
Hasilnya menunjukkan tahun
1950an-1990an rata-rata pendapatan perkapita meningkat dan tren perkembangan
tingkat kesenjangan menurun (negative).
Ranis, dkk (1977) untuk
China menunjukkan korelasi negative antara pendapatan dan kesenjangan.
Indikator kesenjangan dan
kemiskinan
Pengukuran
mengenai kemiskinan yang selama ini dipergunakan didasarkan pada ukuran atas
rata-rata pendapatan dan rata-rata pengeluaran masyarakat dalam suatu daerah.
Perluasan pengukuran dengan menyertakan pandangan mengenai dimensi permasalahan
dalam kemiskinan mengukur banyaknya individu dalam kelompok masyarakat yang
mendapatkan pelayanan atau fasilitas untuk kesehatan dan pendidikan. Beberapa
perluasan pengukuran lainnya adalah menyertakan dimensi sosial politik sebagai
referensi untuk menerangkan terbentuknya kemiskinan. Keseluruhan hasil
pengukuran ini selanjutnya dikatakan sebagai indikator-indikator kemiskinan
yang digolongkan sebagai indikator-indikator sosial dalam pembangunan. Adapun
indikator-indikator kemiskinan yaitu sebagai berikut:
Ø
Indikator kemiskinan berdasarkan
dimensi ekonomi
Berdasarkan
sudut pandang ekonomi, kemiskinan adalah bentuk ketidakmampuan dari pendapatan
seseorang maupun sekelompok orang untuk mencukupi kebutuhan pokok atau
kebutuhan dasar. Dimensi ekonomi dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan
sumber daya yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan seseorang baik secara finansial maupun jenis kekayaan lainnya
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Suryawati,
2014:123). Dimensi ekonomi untuk kemiskinan memiliki dua aspek, yaitu aspek
pendapatan dan aspek konsumsi atau pengeluaran. Aspek pendapatan yang dapat
dijadikan sebagai indikator kemiskinan adalah pendapatan perkapita, sedangkan
untuk aspek ekonomi yang dapat digunakan sebagai indikator kemiskinan adalah
garis kemiskinan.
1)
Pendapatan perkapita
Indikator pendapatan perkapita
menerangkan terbentuknya pemerataan pendapatan yang merupakan salah satu indikasi
terbentuknya kondisi yang disebut miskin.
2)
Garis kemiskinan
Garis kemiskinan merupakan salah
satu indikator kemiskinan yang menyatakan rata-rata pengeluaran makanan dan
non-makanan perkapita pada kelompok referensi yang telah ditetapkan. Kelompok
referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang
hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas garis kemiskinan. Berdasarkan
definisi dari BPS, garis kemiskinan dapat diartikan sebagai batas konsumsi
minimum dari kelompok masyarakat marjinal yang berada pada referensi pendapatan
sedikit lebih besar daripada pendapatan terendah. Pada prinsipnya, indikator
garis kemiskinan mengukur kemampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan
pokok/dasar atau mengukur daya beli minimum masyarakat di suatu daerah.
Konsumsi yang dimaksudkan dalam garis kemiskinan ini meliputi konsumsi untuk
sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan (Suryawati, 2004:123).
Ø
Indikator kemiskinan berdasarkan
dimensi peran pemerintah
Pemerintah
sebagai regulator sekaligus dinamisator dalam suatu perekonomian merupakan
salah satu pihak yang memiliki peran sentral dalam upaya untuk menanggulangi
permasalahan kemiskinan. Di Indonesia, penanggulangan permasalahan kemiskinan
dikoordinasikan oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan yang bekerja
sama dengan Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial. Program penanggulangan
kemiskinan ini dibiayai melalui Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional
(APBN) melalui pos pengeluaran untuk Program Pembangunan. Prinsip yang digunakan
program ini bahwa penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui upaya untuk
meningkatkan pembangunan di bidang sumber daya manusia dan pemenuhan sarana
maupun prasarana fisik.
Ø
Indikator kemiskinan berdasarkan
dimensi kesehatan
Dari
berbagai data kemiskinan yang dhimpun menyebutkan adanya keterkaitan antara
kemiskinan dan kualitas kesehatan masyarakat. Rendahnya kemampuan pendapatan
dalam memenuhi kebutuhan pokok menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk
memperoleh standar kesehatan yang ideal baik dalam bentuk gizi maupun pelayanan
kesehatan yang memadai. Dampak dari kondisi seperti ini adalah tingginya resiko
terhadap kondisi kekurangan gizi dan kerentanan atau resiko terserang penyakit
menular.
Indikator
pelayanan air bersih atau air minum merupakan salah satu persyaratan
terpenuhinya standar hidup yang ideal di suatu daerah. Ketersediaan air bersih
akan mendukung masyarakat untuk mewujudkan standar hidup sehat yang layak. Dalam
hal ini, ketersediaan air bersih akan mengurangi resiko terserang penyakit yang
diakibatkan kondisi sanitasi air yang buruk. Berdasarkan penjelasan tersebut,
maka terdapat keterkaitan/hubungan antara ketersediaan pelayanan air bersih dan
jumlah penduduk miskin di suatu daerah. Pada sisi permasalahan lain,
ketersediaan air bersih sangat ditentukan oleh kemampuan pembangunan prasarana
air bersih dalam menjangkau lingkungan atau pemukiman masyarakat. Masyarakat
yang kurang terjangkau oleh pelayanan air bersih/minum relatif lebih rendah
kualitas kesehatannya dibandingkan masyarakat yang telah mendapatkan pelayanan
air bersih.
Sumber:
Rahmatia
Kamala
25215574
Pertemuan
ke-5
Faktor-faktor penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan
dengan:
1)
Penyebab individual atau patologis,
yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan
dari si miskin.
2)
Penyebab keluarga, yang
menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
3)
Penyebab sub budaya (sub cultural), yang menghubungkan
kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari, atau dijalankan dalam
lingkungan sekitar.
4)
Penyebab agensi, yang melihat
kemiskinan sebagai akbat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan
ekonomi.
5)
Penyebab struktural, yang
memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa
kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di
Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan
masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak
sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis
kemiskinan.
Kebijakan anti kemiskinan
Proses
Kebijakan publik, khususnya kebijakan anti kemiskinan tidak akan lepas dari
peran paradigma. Paradigma memberikan acuan kepada setiap analis kebijakan
tentang apa yang menjadi masalah dan bagaimana cara penyelesaiannya. Dalam
perkembangannya, dua paradigma utama yang berpengaruh dalam proses kebijakan
publik tersebut adalah Kapitalisme dan Sosialisme. Kapitalisme di satu sisi menganjurkan kebijakan publik diserahkan
kepada mekanisme pasar, individualisasi kesejahteraan, kemodifikasi, dan minimalisasi
peran negara.
Sebaliknya,
Sosialisme menekankan keterlibatan aktif negara dalam kebijakan publik, serta
mendukung upaya menciptakan pemerataan dan keadilan sosial.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
perdebatan paradigmatik dalam pengembangan kebijakan publik, khususnya
kebijakan anti kemiskinan di Indonesia. Khususnya kritik sosialisme di tengah
hegemoni kapitalisme. Namun sosialisme yang dimaksud oleh tulisan ini tidak
seperti model negara sentralistik (etatisme), yang tidak mengakui hak milik
serta inisiatif individu. Sosialisme dalam hal ini adalah paradigma yang
menekankan keberpihakan proses kebijakan publik pada kepentingan masyarakat
yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Negara
dalam hal ini tidak dominatif, namun menjalankan kewajibannya menjamin
kesejahteraan sosial.
Untuk
menjelaskan perdebatan paradigma tersebut, tulisan ini melakukan penelusuran
kepustakaan berupa buku, artikel media massa, makalah dan tulisan ilmiah, yang
ditulis oleh sejumlah stakeholder aktif dalam analisis kebijakan anti
kemiskinan. Stakeholder aktif tersebut direpresentasi oleh elit negara,
kalangan swasta, dan unsur masyarakat sipil. Sementara itu, periode yang
menjadi konteks penelitian ini adalah Orde Baru dan Pascanya. Tulisan ini
menyimpulkan, bahwa perdebatan paradigmatik dalam pengembangan kebijkan anti
kemiskinan di Indonesia didominasi oleh Kapitalisme. Dominasi ini terjadi
karena proses kebijakan publik yang kapitalistik tersebut bersifat elitis dan
teknokratis. Hal ini terkait dengan dominannya peran elit intelektual serta
elit negara pro pasar dalam proses kebijakan. Selain itu, dominasi ini juga
disebabkan oleh adanya tekanan lembaga keuangan global, seperti IMF. Tekanan
ini membuat Indonesia memiliki alternatif kebijakan publik yang terbatas. Lebih
dari tiga dasawarsa Orde Baru, Kapitalisme berperan besar dalam mengarahkan
kebijakan publik. Sementara era reformasi lebih merupakan sebuah keberlanjutan
hegemoni kapitalisme tersebut.
Latar yang memungkinkan dominasi
kapitalisme tersebut sekaligus menjelaskan kekalahan wacana-wacana sosialistik
dalam pengembangan kebijakan publik di Indonesia. Namun demikian, kasus
Indonesia memperlihatkan pula adanya dualisme paradigma dalam praktek kebijakan
publik. Di tengah dominasi kapitalisme selama Orde Baru dan pascanya,
pemerintah dalam kasus tertentu memperlihatkan keberpihakannya pada
wacana-wacana sosialistik. Seperti yang diperlihatkan oleh kebijakan Inpres
desa Tertinggal mulai tahun 1994, dan bantuan langsung tunai sebagai kompensasi
atas kebijakan kenaikan harga bahan bakar
minyak pasca krisis ekonomi.
Sumber:
Diva
Viona Leonita (21215992)
Nur
Azka Amaliadina (25215174)
Rahmatia
Kamala (25215574)
Pertemuan
ke-5
Contoh Kasus dan Analisis
Inclusive social protection
for poverty alleviation
Abdurrahman
Syebubakar, Jakarta | Opinion | Tue, March 01 2016, 9:30 AM
Opinion News
Indonesia has emerged as a
middle-income country and an important player in the global economy (G20) but
faces three major problems: a slowing reduction of poverty rates, rising
inequality and a high level of vulnerability for much of the population living
in poverty.
As of September 2015, 28.51 million
Indonesians (11.13 percent) lived below the poverty line, with the poor
experiencing worsening socio-economic conditions.
Around 70 million people lived just
above the poverty line and were vulnerable to economic shocks or other
crises—such as ill-health or unemployment—which could push them into poverty.
In fact, over 80 percent of the
population lives on less than Rp 32,000 (US$2.20) per day, which isn’t even
enough to buy a cup of coffee at Starbucks. Indonesia’s Gini coefficient, which
indicates inequality in income distribution, is 0.41, its highest in 50 years
and the highest among Asian countries. If it continues to rise, Indonesia could
be at risk of social instability.
According to the 2015-2019
Medium-Term Development Plan (RPJMN), the government aims to address the three
above-mentioned major problems using four inter-linked strategies, which are:
building a strong foundation for economic growth resulting in quality
employment opportunities; establishing a comprehensive social protection
system; promoting sustainable livelihoods; and increasing and expanding basic
social services. By 2019, as projected in the RPJMN, the poverty rate and Gini
coefficient are expected to fall to 7-8 percent and 0.36, respictively.
Social protection has been
rebranded and expanded by the government through the Prosperous Family Savings
Program (PSKS) that gives direct assistance to the poorest 25 percent of the
population.
This program is implemented through
the Smart Indonesia Program (PIP) and the Healthy Indonesia Program (PIS). The
government also continues to implement other social assistance programs such as
subsidized rice for the poor (formerly known as Raskin) and the conditional
cash transfer program (PKH).
As has been the norm, social
protection programs are targeted at different segments of the population.
Poverty targeting continues to be employed despite the fact that it generates
high inclusion and exclusion errors, and, due to its complexity, is
administratively expensive to deliver.
Stephen Kidd of Development
Pathways (2016) has noted that “in developing countries, there is no poverty
targeting mechanism that comes remotely near being accurate in identifying
people living in poverty.
Even well-known schemes such as
Brazil’s Bolsa Familia and Mexico’s Oportunidades programs excluded 49 percent
and 70 percent respectively of their target populations.”
Indonesia uses the Unified Data
Base (UDB) as the basis for social protection targeting. But, as recent
research has shown, it faces the challenge that, among the poorest 40 percent
of the population covered by the UDB, a high percentage was not on the UDB.
On the other hand, a significant
proportion of the richest quintile of the population are on it. Consequently,
one cannot expect Indonesia’s targeted social protection programs to be
effective in reaching the majority of those living in poverty and vulnerability.
Furthermore, as pointed out by
Amartya Sen (1995), the beneficiaries of poverty targeting tend to be
politically weak, with minimal influence over electoral results.
And, there is good evidence that
poverty targeting can create social tensions in communities, since those
excluded from social protection programs become jealous of those who are
included as beneficiaries.
So the question is why continue
targeting? For its advocated, the argument for targeting rests on moral and
resource arguments.
The moral argument is to prioritize
the poor over the rich, yet, in reality, it is only universal programs that can
ensure the inclusion of the poor. The resource argument is to ensure that
limited budgetary resources are used effectively, yet, it half of the poor are
excluded, can it be considered effective?
Given that poverty targeting’s
disadvantages outweigh its advantages, it is time to look into the alternative
approach of inclusive lifecycle social protection as a means of reaching the
poor and vulnerable and addressing inequality.
In contrast to poverty targeted
schemes, inclusive provision offers better and larger contributions (transfer
value) to beneficiaries.
Large scale and inclusive provision
can have multiple benefits beyond the immediate purpose of helping the most
vulnerable groups like the elderly, children and people with disabilities.
For example, grandmothers in
receipt of old-age pensions can care for their grandchildren, to enable their
mothers to find work (and further reduce poverty).
And inclusive social protection can
generate higher levels of spending in the economy, which can help stimulate
economic growth.
Inclusive social protection could
reach the 80 percent of the aforementioned Indonesian population that continues
to live in insecurity on less than Rp 32,000 per day. As a result, it can build
social cohesion and reduce the risk of political instability.
Providing inclusive lifecycle
social protection schemes for the majority of Indonesia’s population—and
guaranteeing access for the most disadvantaged and vulnerable—is affordable.
For just over 1 percent of GDP,
Indonesia could provide comprehensive benefits for the vast majority of older
people, children and people with disabilities, significantly improving the
impact of the national social protection system.
Not only is inclusive social
protection socially and economically desirable, but importantly—as evidenced in
many developed and developing countries—it would be politically popular and
would subsequently translate into support for expanding the fiscal space
available for financing social protection, while reaping electoral rewards for
ambitious and far-sighted policy makers and politicians.
Given the advantages of
inclusive social protection, it is sensible for the government to explore the
feasibility of piloting, if not implementing it accross all areas of social
policy, including inclusive old-age grants, child benefits and disability
benefits. Our Constitution guarantees the right of all citizens to social
security, and it is time that that is fulfilled.
http://www.thejakartapost.com/news/2016/03/01/inclusive-social-protection-poverty-alleviation.html
ANALISIS
Inclusive social protection for
poverty alleviation
Social protection programs continue to be done in Indonesia to reduce
poverty are not fully yielded good results, even more disadvantages than
advantages, such as the social tension in society and administrative costs are
expensive. According to Stephen Kidd, in developing countries there is no
mechanism for poverty alleviation accurate, but in Indonesia still do.
Preferably, more social protection programs into alternative approach
inclusive. Inclusive alternative approach offers a better contribution and bigger
to the beneficiaries (the poor). Large scale and inclusive provision can have
some benefits and purpose of directly helping the most vulnerable groups such
as the elderly, children, and people with disabilities.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar